REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Aisyah Nur Afifah (27 tahun) berpuasa pada bulan Ramadhan masih merupakan hal baru dan menantang. Tahun ini merupakan kedua kalinya ia menjalankan puasa sebagai mualaf. “Ramadhan pertama, banyak ujiannya,” katanya, Rabu pekan lalu.
Waktu itu, ia menumpang di rumah seorang ibu di Bandung, Jawa Barat, yang banyak membimbingnya dalam menjalankan Islam. Ia menuturkan, karena tak terbiasa menahan lapar dan haus seharian, serta tak paham maksud ritual puasa, ia sempat syok dan kebingungan.
Saat diajak shalat Tarawih pun, ia hanya mengikuti gerakannya tanpa mengetahui maksudnya. Sempat juga karena sedang banyak pikiran, kondisi kesehatan Aisyah menurun dan akhirnya jatuh sakit. Ia menduga itu disebabkan tubuhnya belum bisa beradaptasi dengan cuaca Bandung.
Sebelum ke Bandung, Aisyah tinggal di Papua. Terlepas dari semua tantangan itu, ia selalu berusaha bertahan untuk berpuasa sampai Maghrib. Ia merasa bahagia karena masih berkesempatan menjumpai Ramadhan tahun ini. Puasa Ramadhan yang kedua.
Menurut Aisyah, ini peluang baginya meningkatkan kualitas ibadah dan memaksimalkan puasanya dibandingkan tahun lalu. Selang setahun sejak pengalaman puasa pertamanya, ia mengaku banyak belajar dan membekali diri dengan pengetahuan agama lebih kaya.
Sekarang, ia mengetahui maksud berpuasa bukan sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga. Lebih dari itu, berpuasa merupakan bentuk kepasrahan kepada Allah. “Dan hal tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh,” katanya.
Ia bertekad konsisten melaksanakan amalan yang ia lakukan di luar Ramadhan, seperti shalat malam dan tadarus Alquran. “Kali ini bahkan terasa lebih nikmat karena menjalankan ibadahnya dibarengi pemahaman, tidak seperti tahun lalu.”
Waktu puasa tahun pertama, Aisyah mengungkapkan, ia sering berlaku seperti anak kecil. Ia menginginkan saat berbuka makan dengan beragam menu makanan lezat untuk mengganti semua kelelahan sepanjang hari. Tapi, ia mengaku itu keliru.