REPUBLIKA.CO.ID, Ramadhan tahun ini akan menjadi bulan Ramadhan yang tak akan aku lupakan selama hidupku. Ini adalah pertama kalinya aku menjalani ibadah puasa jauh dari sanak keluarga. Biasanya aku selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman ketika Ramadhan tiba.
Hari pertama dibulan Ramadhan merupakan waktu bagiku untuk berkumpul dengan keluarga, Tapi, tidak dengan tahun ini. Ya rasanya berbeda sekali ketika aku menjalani Ramadhan di tanah seberang.
Pertengahan Juni lalu aku datang ketempat ini, sebuah daerah di pelosok kabupaten Buton - Sulawesi tenggara. Aku datang sebagai guru dari Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa yang akan mengajar di sebuah sekolah dasar di desa ini. Aku akan ikut tinggal disini selama 1 tahun kedepan. Dan perjalanan satu tahunku akan dimulai sekarang.
Ditemani hangatnya senja, aku melamunkan masa-masa indahku di kampung halaman. Pikiranku melompat dari satu masa ke masa lainnya. Terbayang jelas dibenakku bagaimana serunya Ramadhan-Ramadhan yang kulalui disana. Sesekali aku tersenyum ketika aku ingat, dulu ketika usia ku baru 5 tahun aku telah ikut berpuasa.
Tapi pernah suatu hari badanku panas, tidurku pun sampai mengigau. Ibu sangat khawatir saat itu. Ia pun memintaku untuk membatalkan puasa dan segera minum obat penurun panas. Tapi aku yang sebelumnya sudah diiming-imingi akan diberi uang kalau aku berpuasa penuh selama sebulan, tidak mau menuruti nasehat ibu.
Aku takut kalau puasaku ada bolongnya, aku tidak jadi diberi uang oleh kakak-kakakku. Konyol memang, tapi itulah aku. Dulu aku berpuasa hanya karena aku tahu aku akan diberi hadiah uang. Sejenak aku tersadar, ketika dari kejauhan kusadari ada beberapa anak yang menghampiriku sambil beteriak-teriak dengan kencangnya.
“Bu Heni……. Bu Heniiiiii……”
“Ada apa ini lari-lari.” jawabku
“Malam ini pergi ke masjid tidak?” Tanya Rani, anak yang selalu setia menemaniku sejak pertama kehadiranku di desa ini.
“Ada apakah di masjid?” balasku bertanya
“Mungkin kita akan shalat tarawih.” Jawab Rani lagi
Dengan tersenyum kujawab mereka “Belum Nak, insya Allah kita shalat tarawih malam minggu nanti”
“Belum puasakah besok?” Tanya anak lainnya
“Insya Allah minggu boleh kita puasa”
“Oooooo….” Ujar mereka hampir serempak.
“Tapi malam ini kita tetap pergi kemasjid, tetap shalat isya dan mengaji tho?” Tanyaku sambil tersenyum
“Iya Bu, iya Bu” jawab mereka kegirangan.
Memang sejak hari petamaku disini anak-anak inilah yang banyak menemaniku. Ada sekitar 15 anak yang tidak pernah absen setiap harinya. Pagi-pagi mereka sudah datang memanggil-manggilku. Ada beberapa yang memanggilku Miss Heni, tapi kebanyakan mereka memanggilku Bu Guru Heni atau Bu Heni. Mereka begitu antusias dengan apa saja yang aku katakan.
Awalnya aku begitu susah untuk mengkondisikan anak-anak ini. Suaraku selalu kalah dengan suara mereka. Aku bicara satu kata, mereka bisa menjawabku dengan sepuluh kata. Nada bicara mereka yang seperti orang mau bertengkar sempat membuatku kaget. Tapi kekagetanku hanya berlangsung 2 hari saja rasanya, karena setelah itu aku benar-benar merasa bisa menyatu dengan tingkah polah anak-anak disini.
Saat aku datang kesini, sekolah tempat ku bertugas memang sedang libur. Jadi untuk mengisi kegiatan liburan ini aku mengajak anak-anak belajar sambil bermain di rumah dinas tempatku tinggal. Sore atau malam harinya akupun mengadakan kegiatan belajar mengaji di masjid.
Jumlah anak-anak di desa ini sangat banyak. Bisa sampai 150 anak, tapi aku selalu heran kenapa ketika mengaji hanya sekitar 25 anak yang datang. Kemana anak-anak lainnya tanyaku dalam hati. Ketika ramadhan sudah benar-benar diambang mata, tinggal hitungan beberapa jam lagi sudah akan masuk pada tanggal 1 Ramadhan.
Kesedihan sempat menyergapku, aku tidak bisa berbohong kalau sebenarnya aku begitu sedih karena jauh dari orangtuaku. Tapi seperti ada kekuatan lain yang menggerakkanku untuk tidak memperlihatkan kesedihanku. Mungkin ini kekuatan tekad. Tekad yang menghantarkanku sampai menginjakkan kaki di pulau Sulawesi.
Di desa ini ada sebuah tradisi untuk menyambut datangnya Ramadhan. Tepat setelah shalat magrib di tanggal 1 Ramadhan biasanya warga mengadakan ritual “berdoa”. Aku pun diundang oleh seorang warga yang tinggalnya tidak jauh dari rumah dinasku.
Aku tidak sempat bertanya-tanya tentang ritual ini karena tepat ketika aku datang acara “berdoa” segera dimulai.
Ada seorang Bapak kiai yang memimpin doa sambil membakar sebuah dupa/kemenyan. Kepalaku sempat pusing mencium bau kemenyan ini, tapi aku mencoba mengikuti sampai akhir proses “berdoa” ini selesai.
Tepat seperti dugaanku, selesai berdoa pasti ada acara makan-makannya. Aku sempat mengelus dada sambil berdoa didalam hati “Ya Allah lindungilah kami dari segala kemusyrikan”. Yah sebenarnya aku takut kalau ritual seperti ini mendekatkan kepada syirik, karena ada beberapa prosesi yang menurutku tidak ada tuntunannya di dalam ajaran agama.
Saat ini yang ku bisa hanyalah menolak dengan hati. Aku belum mampu untuk mengambil tindakan yang lainnya.
Keterkejutanku tidak hanya sampai disitu, ada hal lain yang membuatku tak kalah terkejutnya. Biasanya dikampung halamanku nuansa Ramadhan itu langsung kental terasa sejak hari pertama. Tapi tidak dengan disini.
Entah mungkin apakah cara menyambut datangnya Ramadhan yang memang sedikit berbeda, aku tidak tahu. Menjelang isya aku dikagetkan oleh suara dentuman musik yang sangat khas. Lagu-lagu dangdut koplo bertalu-talu. Suara musik itu terdengar sangat dekat dari masjid tempatku shalat. Aku terheran-heran seperti inikah cara mereka menyambut Ramadhan. Apakah dengan musik-musik dangdut yang menggema? Pertanyaanku hanya bisa menari-nari di kepala.
Jamaah shalat isya dan tarawih pun hanya sedikit. Jamaah yang perempuannya hanya 1 shaf. Pandanganku menelisik mencari jawaban atas pertanyaanku yang tak bisa aku lontarkan. Tiba-tiba datang seorang remaja menghampiriku, seolah-olah dia bisa membaca pikiranku lalu berkata,
“Sepi ya Bu, tidak seperti bulan Ramadhan” sapanya mengagetkanku
“Kalau malam pertama Ramadhan memang sedikit Bu yang datang” ujarnya lagi sambil memandangi wajahku
“Oh, kenapa?” tanyaku refleks
“Ya mungkin karena masih banyak yang berdoa dirumah masing-masing.”
“Kalau suara musik-musik itu untuk apa?” tanyaku pelan-pelan
“Itu sih sudah biasa Bu, susah dibilanginnya.”
“Biarin aja Bu, yang penting mereka gak buat keributan.” lanjutnya
“Oooo…..”aku terdiam sejenak sambil mencerna informasi yang baru saja kudapat.
Aku kembali mengobrol dengan remaja ini. Namanya Uli, sebelumnya aku sudah pernah bertemu dengannya dimasjid tempat aku mengajar anak-anak mengaji. Uli juga bahkan ikut membantuku mengajar anak-anak yang membaca Iqra. Aku mengobrol banyak dengan Uli, darinya juga aku banyak tahu tentang kebiasaan remaja disini. Aku banyak bertukar pikiran dengan Uli.
Selesai tarawih, di masjid ini memang biasa diadakan tadarusan oleh para remaja. Aku benar-benar bersyukur, dibalik semua kekagetan dan keherananku, ternyata masih ada jiwa-jiwa muda yang peduli untuk menggerakan kegiatan tadarusan di bulan Ramadhan meskipun hanya segelintir orang saja yang terlibat, tapi bagiku ini sudah lebih dari cukup.
Meski Ramadhan yang kutemui disini tak sama dengan ramadhan- ramadhan yang pernah aku lalui sebelumnya. Namun aku tetap bahagia. Karena sesungguhnya yang membuat berbeda itu bukanlah segala pernak-pernik atau atributnya tapi yang menjadikan ku bahagia adalah aku masih bertemu dengan bulan Ramadhan itu sendiri.
Rasa heran dan kagetku hanyalah sebuah ekspresi dari hal-hal yang baru aku temukan. Bahkan aku menjadi lebih bahagia karena aku memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat di Ramadhan kali ini.
Aku semakin menyadari tugasku bukanlah hanya untuk mengajar. Tapi akupun bertugas untuk belajar di masyarakat. Belajar mengenali budaya mereka, belajar memahami kebutuhan mereka dan belajar menjadi bagian dari mereka. Aku tiba-tiba teringat nasehat dari seorang teman, berbaurlah dan berikan warna baru, warna-warna yang indah. Mampukan aku Ya Rabb untuk melukis dengan warna-warna indah itu di tempat ini.
Tentang Penulis :
Heni Septriana,
Alumnus Pendidikan Matematika IAIN Raden Intan lampung.
Peserta Sekolah Guru Indonesia Angkatan V.
Saat ini sedang bertugas di SDN 1 Rahia, Buton-Sulawesi Tenggara.