REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertengahan bulan Ramadhan, ada tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Betawi. Tradisi itu, yakni “malam ketupat” yang biasa dilaksanakan pada malam-malam ganjil setelah 17 Ramadhan.
Ustaz Karsan (65 tahun), tokoh masyarakat Kampung Betawi di Setu Babakan, menuturkan, tradisi malam ketupat dilaksanakan saat malam yang disebut masyarakat Betawi malam likuran.
Biasanya, tradisi ini dilakukan bergilir di setiap mushala pada 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan. Ia mengatakan, tujuan dari pelaksanaan tradisi ini, yaitu menyambut malam lailatul qadar dengan sukacita. “Bulan puasa ini bulan gembira,” ujarnya.
Masyarakat Betawi, Karsan mengatakan, umumnya kompak dan berpendirian kuat memegang tradisi. Menurut pengelola perkampungan budaya Betawi, Indra, konon masyarakat Betawi melaksanakan tradisi ini setelah malam Nuzulul Quran.
Karena masyarakat percaya, malam-malam itulah saat turunnya lailatul qadar. Walaupun, pada dasarnya malam penuh rahmat terdapat pada satu bulan penuh Ramadhan.
Tradisi malam ketupat ini biasa disebut juga sebagai sedekah abug. Karena pada malam berkumpulnya masyarakat di masjid atau mushala itu, juga tersedia kue abug. Menurut Karsan, dahulu panganan yang tersedia dan populer di masyarakat Betawi, yakni kue abug. Namun kini, sudah semakin beragam aneka makanan.
Kue abug merupakan kue yang dibuat dari beras yang ditumbuk atau tepung beras ketan. Di dalamnya diisi dengan gula merah dan kelapa. Bentuknya segitiga dan dibungkus dengan daun pisang.
Kue ini dibuat sendiri oleh warga dan dihidangkan saat masyarakat berkumpul di mushala. Pada era 1970-an, Karsan mengatakan, hampir semua warga membuat kue abug. Namun, kini hanya beberapa warga saja yang membuat kue tersebut. Pada malam abug atau tradisi ketupat itu, setiap rumah memiliki tugas masing-masing untuk membuat jenis panganan tertentu.
Setelah melaksanakan shalat Tarawih, masyarakat Betawi berkumpul dan menyantap aneka hidangan yang tersedia secara bersama-sama. Sembari menikmati hidangan malam, warga Betawi berbincang-bincang hingga pertengahan malam.
Indra menuturkan, ketupat merupakan bagian dari panganan masyarakat Betawi yang memiliki filosofi dan disimbolkan sebagai pemersatu nilai silaturahim dalam masyarakat. Ia mengaungkapkan, meski tidak semua mushala atau masjid kampung menggelar tradisi ini, di kampung Betawi tradisi tersebut masih dijalankan.
Dahulu, panganan seperti ketupat terbilang masih jarang. Karenanya, makanan tersebut menjadi istimewa kala itu. Ketupat ini banyak diminati karena merupakan jenis makanan yang tidak langsung mengenyangkan.
Bahkan saat itu, Indra melanjutkan, sudah menjadi tradisi ketupat disantap bersama semur andelan. Disebut andelan karena daging yang dimasak merupakan daging kerbau yang dibeli dari hasil patungan kelompok masyarakat yang beranggotakan 15 hingga-20 orang.
Kerbau tersebut dipotong bersama oleh mereka pula. Namun kini, semur andelan ini sudah tidak ada. Seiring berkembangnya zaman, umumnya masyarakat Betawi kini lebih memilih membeli daging dari pasar.