REPUBLIKA.CO.ID, Jalanan di jalur pantai utara (pantura) dan jalur selatan Pulau Jawa mulai dipadati pemudik. Pelabuhan Merak dan Bakauheni pun dipenuhi mereka yang ingin pulang kampung ke Sumatra melalui jalur darat.
Demikian juga, stasiun kereta dan terminal bus. Semua sibuk di jalanan demi tercapai suatu tujuan, bisa berhari raya bersama keluarga di kampung halaman.
Sayangnya, niat mulia yang begitu dinanti-nantikan itu tanpa disadari mengorbankan sesuatu yang paling berharga. Masa-masa sepuluh akhir pada bulan Ramadhan adalah saat-saat terbaik sepanjang masa.
Sepuluh hari itu adalah waktu paling berharga dalam setahun yang pernah dilewati manusia. Waktu itu benar-benar berkah untuk beribadah. Di dalamnya bahkan terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Itulah malam Lailatul Qadar.
Apabila masuk sepuluh akhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW mengencangkan ikat pinggangnya. Beliau SAW membangunkan keluarganya. Sepanjang malam beliau habiskan untuk shalat malam dan ber-taqarrub kepada Allah melalui iktikafnya. Apalagi yang dicari oleh insan paling mulia sejagat itu?
Mengapa seorang yang ma'shum (bersih dari dosa) itu begitu mengharap maghfirah dan ampunan Rabb-nya? Seluruh ibadah yang dilakukan beliau pada sepuluh terakhir Ramadhan itu untuk memahamkan umatnya, betapa berharga hari-hari yang sangat singkat itu.
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, KH Zakky Mubarok, menerangkan, disyariatkannya iktikaf pada sepuluh akhir Ramadhan supaya ada kesungguhan pada diri umat Islam.
Sebenarnya, siapa yang benar-benar mencari ketakwaan, yang benar-benar ingin meraih ampunan Allah SWT, dan yang benar-benar ingin mendulang pahala sebanyak-banyaknya bisa meraihnya pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.
"Nabi itu membangunkan keluarganya untuk ibadah. Hikmahnya beriktikaf agar kita bisa bersungguh-sungguh menunggu malam Lailatul Qadar. Kita bisa berlatih melakukan zikir dengan diam di malam hari," terangnya.
Jadi, sangat disayangkan pada sepuluh hari yang begitu berharga ini hanya habis di jalanan dan mudik berhari-hari tanpa mendapat kesempatan untuk shalat Tahajud. Bahkan, karena jauhnya perjalanan mudik, pemudik terpaksa harus berbuka puasa.