Jumat 21 Nov 2014 04:32 WIB

Arti Ekonomi Syariah Diminta tak Disempitkan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Mansyur Faqih
Pegadaian Syariah
Foto: Republika/Prayogi
Pegadaian Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makin kompleksnya kebutuhan dan sektor ekonomi harus diimbangi dengan jangkauan hukum syariah yang sama luasnya. Ini penting jika ingin mendukung perkembangan keuangan syariah di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Yuslam Fauzi meminta arti syariah tidak disempitkan hanya pada halal haram dalam muamalah. Sebab syariah lebih luas dari sekadar perkara itu saja.

Mencari lebih banyak kesamaan harusnya jadi poin utama pengembangan ekonomi syariah. Agar tujuan utama ekonomi syariah untuk mensejahterakan umat bisa tercapai.

"Syariah yang mensejahterakan, mengentaskan kemiskinan, prolingkunganlah yang saat ini harus dikembangkan. Nilai kebaikan universal ini yang akan membuat ekonomi syariah diterima di mana pun," tutur Yuslam di Jakarta, Kamis (20/11).

Presiden Direktur Maybank Indonesia Norfadelizan Abdul Rahman mencatat ada dua poin untuk kontrak keuangan syariah. Pertama, kontrak keuangan syariah harus mengikuti kebutuhan. Meski ada kebutuhan yang berbeda-beda satu wilayah dengan wilayah lainnya, harus ada standar yang jelas.

"Harus ada standar bersama secara global. Ini penting agar perkembangan ekonomi syariah satu negara tidak terkotakkan sendiri sehingga terkesan tertutup," kata dia.

Jumlah fatwa yang diterbitkan juga sebenarnya perlu menyesuaikan kebutuhan produk. Ia menyebut fatwa DSN MUI belum ada yang menyangkut produk hedging.

Nasabah yang ingin menggunakan hedging jadi harus menggunakan produk perbankan konvesional. Ia cukup memahami karena saat produk syariah diubah ke hedging, produknya tidak lagi syariah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement