REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Opsi pemerintah menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium disambut positif. Dengan turunnya harga minyak dunia yang mendekati 50 dolar per barel, pemerintah didorong menghapus premium dan mengganti dengan pertamax.
Ekonom BII, Juniman, mengatakan dengan mengambil opsi premium tanpa subsidi akan membuat harga premium sekarang sudah tidak disubsidi. Menurutnya, kondisi tersebut sangat baik, sebab pemerintah akan lebih banyak mendapat anggaran dengan menghapus subsidi premium.
Nantinya, harga BBM nonsubsidi akan mengikuti harga pasar. Jika harga minyak dunia turun akan mengikuti, sehingga pergerakan inflasi tidak langsung naik cepat.
Sebab, selama ini kebijakan kenaikan harga BBM selisih kenaikannya cukup signifikan mencapai Rp 2.000 - Rp 3.000. "Kalau ini kan nanti naiknya Rp 100 sampai Rp 200 sedikit-sedikit dan dampaknya terhadap inflasi tidak terlalu besar," terangnya.
Namun, dia menilai salah satu masalahnya apakah kebijakan tersebut bisa diterima regulasi atau tidak. Karena dalam UU APBN menyebutkan harus ada subsidi. Sehingga harus dikaji apakah melanggar regulasi atau tidak.
"Kalau itu tidak melanggar enggak masalah. Ada baiknya kalau misalnya pemerintah mengkaji ulang juga kalau premium tidak disubsidi apakah kita pakai premium terus atau harus berubah ke pertamax," imbuhnya.
Menurutnya, dengan turunnya harga minyak mendekati 50 dolar per barel menjadi peluang bagi pemerintah untuk menghapus premium. Sebab, harga premium tanpa subsidi akan hampir sama dengan harga pertamax.
Menurutnya, penghapusan premium akan memberikan benefit bagi pemerintah. Dari sisi lingkungan akan lebih ramah, dari sisi anggaran keduanya tidak disubsidi, dan dari sisi Pertamina akan lebih mudah mencari pertamax di pasar internasional daripada premium.
"Nah dengan kondisi seperti ini Pertamina tidak usah mengeluarkan biaya untuk mengubah pertamax menjadi premium," kata Juniman.