REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi pertanian Indef Bustanul Arifin mengatakan, penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2015 bukan berarti mempermudah keran impor beras. Pasalnya, pemerintah tetap saja melakukan impor apabila stok beras dalam negeri tidak mencukupi.
"Sebetulnya di dalam undang-undang juga ada pasal yang memiliki makna sama, tapi saya kira ini bukan sesuatu yang krusial karena pada kenyataannya kalau kuran kan tetap impor," kata Bustanul kepada Republika, Ahad (22/3).
Bustanul mengatakan, inpres seharusnya selalu dikeluarkan setiap tahun sebelum musim tanam, agar menjadi patokan. Akan tetapi sejak 2012, inpres tersebut tidak pernah diperbarui dan tahun ini justru baru dikeluarkan setelah musim panen. Sehingga, menurut Bustanul, inpres tersebut tidak berpengaruh kepada petani dan lebih condong untuk kepentingan pedagang.
"Memang inpres ini ditunggu-tunggu oleh mereka yang mau pengadaan beras, sementara perlindungan ke petani belum ada," kata Bustanul.
Apabila pemerintah ingin melakukan perlindungan terhadap petani, seharusnya harga gabah/beras yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar. Bustanul menganggap kekuatan untuk melindungi petani dari inpres tersebut belum ada. Menurutnya, sejak 2005 pemerintah Indonesia sudah tidak mampu melindungi petani.