REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyampaikan asumsi makro pokok kebijakan fiskal 2016 yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8-6,2 persen kepada DPR, Rabu (20/5).
Ekonom Senior Mandiri Institute Andry Asmoro mengatakan, peluang untuk tumbuh 5,6-6,2 persen masih ada. Sebab, ada perbedaan tahun 2015 dengan tahun 2016, dimana tahun 2016 pemerintah sudah tidak harus merombak APBN menjadi APBNP. Tahun ini, kata Andry, APBN 2016 sudah bisa diajukan dari awal November 2015 atau Oktober 2015, sehingga Desember sudah bisa diketok.
"Artinya pemerintah sudah bisa lebih cepat belanja baik capex [capital expenditure atau pengeluaran modal] atau tender dari awal, sehingga kuartal II sudah bisa langsung jalan semuanya. Selain itu sudah tidak ada masalah perubahan nomenklatur sama lembaga kementrian, jadi itu momen pemerintah untuk mendorong capex lebih kenceng," jelas Andry kepada wartawan di gedung Bank Indonesia Jakarta, Rabu (20/5).
Selain itu, di sisi investasi, lanjutnya, peluang untuk pasar keuangan atau financial marketnya lebih bagus lagi. Dia menilai seharusnya keyakinan sudah lebih tinggi kalau Fed fund rate bener-benar naik di akhir tahun 2015, dan volatilitas sudah bisa dijaga. Ekspektasi terhadap kenaikan Fed fund rate juga sudah bisa diraba jika pada tahun 2015 sudah naik berarti tahun 2016 Fed fund rate bakal naik lagi.
"Kita sih masih ke arah forecast 2016 belum sampai ke 6,0 persen, masih di antara 5,6-5,8 persen untuk 2016," jelasnya.
Meski demikian, masih ada risikonya jika pemerintah masih tidak bisa melakukan belanja secara maksimal, ekonomi AS melambat lagi, atau harga minyak kembali naik. Meskipun tidak berdampak pada APBN, di satu sisi akan berdampak positif pada komoditas. Tapi dari sisi domestik, harga premium akan berdampak dimana outlook inflasi akan naik. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen pada 2016 cukup realistis, tapi dengan syarat belanja pemerintah lebih kencang.