REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Dug...dug...dug, suara bedug bertalu-talu menggema dari Langgar Agung di halaman Kemandungan kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, Rabu (17/6), tepat usai salat asar berjamaah di langgar tersebut.
Dengan gerakan tangan yang lincah, Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat, terus menabuh bedug peninggalan Sunan Gunung Jati tersebut.
Penabuhan bedug itu menandai datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi yang dikenal dengan istilah dlugdag itu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan Keraton Kasepuhan untuk menandai dimulainya bulan puasa pada keesokan harinya (Kamis, 18/6).
Setelah Sultan menabuh bedug selama beberapa menit, wargi keraton, abdi dalem, kaum Langgar Agung, dan masyarakat magersari Keraton Kasepuhan secara bergantian menabuh bedug untuk menggantikan Sultan Sepuh. Penabuhan bedug itu berlangsung selama kurang lebih satu jam.
"Tradisi Dlugdag ini menjadi pertanda berakhirnya bulan Syaban dan dimulainya bulan Ramadhan. Itu juga menjadi pengumuman kepada masyarakat bahwa malam harinya akan dimulai solat tarawih,’’ ujar Sultan.
Menurut Sultan, tradisi dlugdag sudah ada sejak zaman Sunan Gunung Jati. Saat itu, belum ada radio, tv atau speaker sehingga bedug menjadi alat komunikasi dan tanda pengumuman kepada khalayak ramai.
Namun, meski saat ini teknologi sudah maju, tradisi dlugdag tetap dipertahankan di Keraton Kasepuhan. Tak hanya saat awal memasuki bulan Ramadhan, dlugdag juga dilakukan pada tengah malam setiap hari selama bulan Ramadhan, mulai pukul 24.00 WIB sampai 01.00 WIB.
Namun, hal itu dilakukan di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, yang juga berada di lingkungan Keraton Kasepuhan. Penabuhan bedug tersebut sebagai tanda membangunkan orang sahur. ''Dlugdag pada tengah malam ditabuh oleh kaum Mesjid Agung Sang Cipta Rasa,'' tutur Sultan.
Tak hanya selama bulan Ramadhan, tradisi dlugdag juga akan dilakukan pada hari terakhir di bulan suci Ramadhan, atau sore hari menjelang hari raya Idul Fitri. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperingatkan umat Islam akan kewajiban membayar zakat.