Kamis 18 Jun 2015 14:40 WIB

BI Rate Diprediksi Bakal Dipertahankan

Rep: C87/ Red: Djibril Muhammad
 BI Surplus Rp 41,2 Triliun di 2014: Karyawan berada di kantor Bank Indonesia, Jakarta, Senin (25/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
BI Surplus Rp 41,2 Triliun di 2014: Karyawan berada di kantor Bank Indonesia, Jakarta, Senin (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Ekonom dari Bank Central Asia David Sumual memproyeksikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) bakal dipertahankan di level 7,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis (18/6).

Dalam Rapat Dewan Gubernur the Fed (FOMC), the Fed sudah mengonformasi akan menaikkan suku bunga tahun ini. Namun, masih belum diketahui seberapa agresif satu kali kenaikan atau dua kali kenaikan. Seberapa agresif the Fed menaikkan masih akan mempengaruhi negara emerging market.

"The Fed pasti menaikkan suku bunga, cuma seberapa agresif, sehingga BI masih menahan suku bunga," jelas David saat dihubungi Republika.

Sementara, faktor dari dalam negeri, kondisi rupiah masih tertekan. Inflasi juga cenderung meningkat di pertengahan tahun menjelang lebaran di atas 7 persen. Selain itu, juga masih ada pengaruh defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) cukup besar. Hal itu yang mendorong kemungkinan BI rate masih akan ditahan.

Menurutnya, dengan BI rate dipertahankan, pertumbuhan ekonomi yang melambat di kuartal I-2015, di kuartal II kemungkinan masih lesu. Beban masih ada di pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mempercepat realisasi belanja dan reformasi struktural terkait kemudahan berbisnis. Pertumbuhan ekonomi di semester II diharapkan lebih baik.

Dia memprediksikan pertumbuhan ekonomi akhir tahun masih di sekitar 5 persen. Meskipun pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi dari 5,7 persen menjadi 5,4 persen, masih perlu upaya lebih kuat. Perlu upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dari investasi dan belanja pemerintah.

Sebab, ekspor juga masih lemah. Sebab, ekspor masih tergantung komoditas. Sementara, harga komoditas dan permintaan juga masih lesu. Di sisi lain, ada potensi peningkatan harga komoditas pertanian sebagai dampak dari elnino.

Dari sisi perbankan, pertumbuhan kredit dari awal tahun masih diperkirakan tumbuh 10-12 persen sepanjang 2015. Tapi hal itu tergantung dari seberapa cepat belanja pemerintah dan investasi masuk sehingga pertumbuhan kredit meningkat. Juga tergantung bagaimana pemerintah menstimulasi, sebab dana sudah tersedia dari pengalihan subsidi bahan bakar minyak, sehingga tinggal mempercepat belanja.

Terkait opsi penurunan BI rate, sejauh ini dia masih belum melihat adanya opsi tersebut. Karena beberapa faktor seperti inflasi, CAD dan nilai tukar rupiah yang melemah. Selain itu, investasi langsung (foreign direct investment/FdI) belum banyak masuk.

Pemerintah masih tergantung pada arus modal yang bergerak cepat di pasar (hot money) dibandingkan cold money. Sehingga BI belum leluasa untuk menurunkan BI rate. "Kalau cold money masuk pemerintah bisa mengimbangi jika the Fed menaikkan uku bunga. Pelaku bisnis juga masih menunggu realisasi pemerintah dalam perbaikan reformasi birokrasi," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement