REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam buku Ensiklopedia Nurcholis Madjid dijelaskan, pahala puasa tak tergantung seberapa jauh kita lapar atau haus, tetapi tergantung apakah kita menjalankannya dengan iman dan ihtisâb kepada Allah SWT serta penuh introspeksi.
Karena itu, kalau sedang puasa kemudian lupa, lantas makan dan minum, Rasulullah SAW mengajarkan agar kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi makan dan menyirami kita dengan air minum.
Bukti lebih jauh pahala puasa tidak tergantung pada lapar dan dahaga adalah disunnahkannya berbuka puasa sesegera mungkin yang disebut ta’jìl, yakni semakin cepat kita berbuka puasa, semakin besar pahalanya.
Sedangkan sahur disunnahkan seakhir mungkin; makin akhir sahur kita, makin besar pahalanya. Nabi Muhammad SAW menganjurkan kita sahur meskipun tidak nafsu makan dan masih merasa kenyang. Hal ini karena dalam sahur ada keberkahan.
Semua ini menunjukkan Allah SWT tidak menghendaki kita tersiksa. Allah SWT hanya menghendaki kita melatih menahan diri dari godaan-godaan.
Maka, pahala ibadah puasa tergantung kepada seberapa jauh kita bersungguh-sungguh melatih menahan diri, melatih untuk tidak tergoda, sebab kelemahan manusia memang tidak bisa menahan diri.
Dalam Alquran banyak disebutkan di antara kelemahan manusia itu ialah pandangannya yang pendek. ''Tidak! bahkan kamu mencintai kehidupan dunia, dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.'' (QS 75: 20-21).
Dengan berpandangan pendek, manusia mudah tergoda, menganggap sesuatu yang sepintas lalu adalah menyenangkan dan menarik. Kemudian kita mengambilnya, padahal nanti di belakang hari akan membawa malapetaka.