REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga bulan sebelum Ramadhan tiba, masyarakat Nuu Waar (Papua) mempersiapkan diri menyambut bulan suci. Mereka kumpulkan makanan, minuman, dan perlengkapan lain. Setelah terkumpul dan awal Ramadhan tiba, mereka tak lagi berada di laut, kebun, dan tempat lainnya melainkan kembali ke kampung-kampung guna bersiap-siap melaksanakan puasa.
“Inilah tradisi yang dilakukan masyarakat Nuu Waar ketika Ramadhan. Bagi mereka, Ramadhan merupakan peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah, ” papar Presiden Yayasan Al Fatih Kaafah Nusantara, Fadhlan
Garamatan kepada ROL belum lama ini.
Karena itu, lanjut dia, segala bentuk pekerjaan yang dijalankan diganti dengan ibadah seperti tadarus Alquran, meramaikan masjid dengan shalat Tarawih dan shalat Tahajud, dan ceramah-ceramah hingga berakhir pada sepertiga malam.
“Pada malam harinya, akan datang sekelompok remaja yang mendatangi setiap rumah membangunkan sahur. Ini kegiatan dinamakan sahur-sahuran. Kemudian kelompok remaja itu mengetuk pintu, salah seorang dari mereka
mengucapkan Assalamualaikum, izinkan ibu bapak kami bangunkan sahur. Bersahut remaja lainnya, assalamualaikum, ya umat Muhammad. Bangun ucapkan dua kalimat syahadat. Ini bulan puasa, mari bangun sahur dan puasa,” paparnya.
Jelang berbuka, kata ustaz, masyarakat Nuu Waar berbagi makanan kepada Tetua Adat kemudian digelarlah makan bersama. Ada yang membawa sagu, ada yang membawa ikan, ubi, dan sebagainya. Makanan yang terkumpul ini
kemudian disajikan saat berbuka. Disantap bersama-sama Tetua Adat dan masyarakatnya.
“Bagi mereka, kapan bisa beramal seperti ini. Tradisi ini masih terjaga di Fak Fak, Kaimana, Pintuni, Raja Ampat, Asmat, Lemba Baliem, Jayapra. Mereka ini coba berpuasa dengan sungguh-sunggu dengan harapan mendapatkan ridha-Nya,” papar dia.
Ada juga yang menyatakan puasa di bulan suci Ramadhan menghemat kehidupannya. “Ia mengatakan, makanan saya tidak bertumpuk-tumpuk. Karena kita harus berbagi dengan orang lain,” ucapnya. Bahkan ada kepala suku yang mengatakan makanan selalu saja berlimpah padahal sudah dibagi-bagikan kepada warga.
“Inilah nilai dari puasa, zakat, sedekah, dan infak. Hal yang sering mereka lakukan tapi tidak pernah tahu apa itu. Bagi mereka yang baru memeluk Islam ini, menjadi Muslim membuat mereka damai dan mereka merasa beruntung dapat mengenal Islam,” paparnya.
Memasuki Malam Lailatul Qadar, aktivitas ibadah yang dilakukan masyarakat Nuu Waar terus menggeliat. Pada malam itu, ada kunjungan dari rumah ke rumah untuk bersilaturahim, saling menasihati, dan mengisi ceramah. Lalu digelarlah tadarus, dan ibadah lainnya.
Semarak Ramadhan mencapai puncaknya ketika Syawal tiba. Biasanya, masyarakat Nuu Waar membersihkan kampunya tiga hari menjelang Idul Fitri. Setelah bersih-bersih mereka mendatangi masjid untuk berbicara
dengan imam, ustaz, dan marbot untuk memberikan zakat kepada yang berhak.
“Ada yang bersedekah sagu, ubi ikan. Setelah zakat ini diterima masing-masing yang berhak, mereka yang menerima mengumpulkan zakat ini lalu masak sama-sama. Di Wamena misalnya, masak ayam dan kambing usai
takbir keliling,” kata dia.
Setelah itu, papar Ustaz, pada hari kedua Syawal, suasana kembali tenang karena puasa sunah sudah dimulai. Masyarakat Nuu Waar kembali menjalankan rutinitasnya dengan tak lupa melaksanakan pendidikan
spiritual selama Ramadhan. Mereka jaga semangat Ramadhan dengan belajar puasa Senin-Kamis, meramaikan masjid, dan mengaji.
“Apa yang mereka lakukan adalah upaya mensyukuri nikmat iman dan Islam yang tiba pada mereka,” tutupnya.