REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di negeri orang, menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, memiliki sejumlah tantangan dalam berbagai segi. Ambil contoh dari sisi durasi pelaksanaan. Jika di Indonesia, waktu berpuasa berkisar 13 jam, maka di Korea Selatan durasi bisa lebih lama hingga mencapai 16 jam.
Seperti yang dirasakan Zico Alaia Akbar, asisten peneliti di Departemen Kimia, Kookmin University, Seoul, Korea Selatan. Selain waktu, tantangan Zico menjalankan ibadah puasa di masa-masa sekarang bertambah dengan hadirnya musim panas. Di tempatnya bermukim di bilangan Seongbuk, Seoul, cuaca sampai menyentuh 32 derajat celcius.
Lantaran musim panas, tantangan lain pun hadir dalam wujud tata cara berpakaian warga setempat. Pakaian minim dikenakan masyarakat dianggap sebagai satu-satunya jawaban atas kegerahan yang melanda. "Pakaian semakin ke atas," ujar Zico berseloroh kepada Republika.co.id, akhir pekan kemarin.
Walaupun harus menghadapi sederet tantangan, Zico beserta mahasiswa Muslim lain berusaha tetap istiqamah menjalankan ibadah. Membentuk sebuah komunitas yang berisi Muslim dari Indonesia, Arab Saudi hingga Kazakhstan, jadi sebuah benteng. Keberadaan komunitas Muslim juga bertujuan untuk mempererat tali silaturahim.
Terlebih, pemeluk Islam di Korsel merupakan minoritas. Mengingat, kebanyakan masyarakat di sana memeluk agama Kristen, Budha serta atheis. "Sebab, Islam menganjurkan kita berjamaah," katanya memberi alasan di balik pembentukan komunitas tersebut.
Dari sisi makanan untuk berbuka sekaligus makanan sehari-hari, Zico membenarkan adanya kesulitan mencari penganan halal. "Consider kita makanan di sini gak halal," ujarnya. Untuk itu, dirinya kerap menyambangi tempat berbelanja di bilangan Itaewon.
Di sana, bisa ditemukan makanan berlabel halal. Biasanya, makanan itu diimpor dari negara lain seperti Australia. Di Korea sendiri masih langka makanan berlabel halal.
Hikmah berislam di Korea Selatan
Tahun ini merupakan tahun keempat Zico di Korea Selatan. Begitu banyak suka duka yang telah dirasakan. Menurut pria yang tengah menempuh studi strata tiga (S3) di kampus swasta tertua di Korsel itu, menjalankan puasa di negeri itu memberi hikmah tersendiri.
''Tinggal di negara lain menguji keimanan kita," katanya. "Kita merasa harus struggle lebih. Kesungguhan kita pun diuji,'' lanjutnya.
Puasa, selain sebagai bagian dari ibadah untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT, juga menjadi sarana untuk syiar keislaman.
Terlebih, tak sedikit masyarakat Korsel yang menanyakan apa itu ibadah puasa. Tidak hanya tentang puasa, pertanyaan mereka pun kerap melebar seperti apa itu halal, apa itu haram, Islam itu seperti apa, dan lain sebagainya.
"Setelah dijelaskan, mereka welcome. Apalagi mereka tidak mengenal Islam. Yang mereka tahu Islam sama dengan Arab," ujarnya.