REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – PT Honda Prospect Motor (Honda) belum merasakan dampak langsung dari adanya depresiasi rupiah. Meski begitu, perusahaan akan terus memonitor berapa lama situasi ekonomi ini akan terus berlangsung.
"Saat rupiah merosot dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu per dolar AS, Honda memang cukup syok," kata Direktur Pemasaran dan Layanan Purnajual Honda Jonfis Fandy saat dihubungi ROL, Rabu (26/8).
Apabila rupiah terus terdepresiasi, maka dapat menurunkan tingkat pembelian konsumen dan tentunya biaya akan naik karena terjadi kenaikan harga barang. Bahan baku yang dibutuhkan Honda berasal dari impor. “Harga bahan baku naik, tapi besarannya sesuai dengan perjanjian bersama supplier,” ucapnya.
Sama seperti perusahaan kebanyakan, Honda juga melakukan upaya lindung nilai. Namun berapa besarannya, Jonfis enggan menyebut.
Meski begitu, Honda optimis terhadap upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah. “Pemerintah tidak akan tinggal diam dan akan melakukan sesuatu untuk menyelesaikan semuanya,” kata dia.
Berbagai asumsi mengenai fluktuasi rupiah tidak ditanggapi dengan kekhawatiran berlebih oleh Honda. Tidak sebatas itu, perusahaan harus melakukan upaya inisiatif seperti meluncurkan produk baru, menghadiran produk menarik supaya konsumsi otomotif bisa naik, dan membuat terobosan baru seperti ongkos service yang bisa dicicil.
Cara-cara ini diharapkan bisa membuat perusahaan tidak terlalu bergantung pada kondisi dolar AS. “Sehingga saat dolar AS turun, kita tidak ikut turun,” ujarnya.
Menurut dia, realitas sekarang jauh lebih baik. Honda akan menjual apa yang sudah ada sekarang. Konsumen pun akan lebih diuntungkan karena program menarik yang dihadirkan dibuat sebelum dolar AS menyentuh angka Rp 14 ribu. “Ini saat tepat untuk membeli,” ucap Jonfis.