REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi mengatakan volume ekspor minyak mentah sebaiknya segera dikurangi mengingat harga minyak dunia yang cenderung menurun.
"Ekspor minyak tidak bisa lagi menjadi andalan, selain harga minyak dunia yang terus menurun, produktivitas minyak nasional juga rendah," kata Fahmi di Yogyakarta, Selasa.
Sebaliknya, kendati harga minyak dunia turun, menurut Fahmi, Indonesia juga tidak boleh terlena dengan meningkatkan volume impor minyak.
"Impor minyak kita sudah terlalu tinggi, akan lebih murah jika ditambah dengan minyak yang kita produksi dan olah sendiri untuk menutup kebutuhan nasional," kata dia.
Indonesia, kata dia, tetap harus meningkatkan volume produksi minyak mentah dengan memperbaiki kilang-kilang yang ada. Produksi minyak tersebut, selanjutnya dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Apalagi konsumsi BBM masyarakat saat ini telah mencapai 1.400 barel per hari, sementara produktivitas kilang minyak nasional hanya mencapai 800-900 barel per hari.
Sementara itu, Fahmi memperkirakan harga minyak mentah dunia akan mengalami penurunan hingga titik paling rendah mencapai 25 dolar Amerika Serikat (AS) per barel. Harga minyak dunia akan berpotensi terus mengalami penurunan seiring telah dicabutnya sanksi ekonomi Iran.
"Apalagi Iran dengan produksi minyak mentah 2,9 juta barel per hari akan selalu mampu memenuhi permintaan pasar negara Asia," kata dia.
Memanfaatkan momentum itu, menurut dia, selain difokuskan untuk menutup kebutuhan domestik, produksi minyak mentah nasional seharusnya dapat diolah secara mandiri guna menghasilkan lebih banyak produk turunan minyak bernilai ekspor.
"Selama ini minyak bumi memang lebih banyak diekspor daripada dikelola secara mandiri," kata dia.