REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, ketidakmampuan perusahaan dalam membayar upah buruh sesuai standar UMK yang baru bukan penyebab kenaikan angka PHK. Faktor daya beli masyarakat dan tingginya biaya produksi yang membuat lesu iklim industri dinilai memberi pengaruh penting terhadap PHK.
"Alasan ketidakmampuan perusahaan membayar upah sesuai kenaikan UMK menurut kami kurang tepat. Sebab, perusahaan dapat mengajukan penangguhan pembayaran upah kepada pemerintah. Bukan tidak membayar gaji, tetapi jumlah upahnya dibayar sesuai UMK sebelumnya," kata Said kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (28/3).
(Baca: Kenaikan UMK Dorong Pengusaha Kurangi Karyawan)
Menurut dia, tingginya angka PHK pada awal 2016 disebabkan dua hal utama, yakni penurunan daya beli masyarakat dan masih mahalnya harga bahan baku industri. Kedua faktor itu, lanjut Said, berpengaruh kuat pada lesunya iklim usaha.
"PHK masih dipengaruhi kondisi iklim industri yang kurang baik. Peraturan pembayaran UMK baru yang disesuaikan persentase inflasi juga mengurangi daya beli para pekerja sehingga ikut melemahkan iklim industri. Pemerintah semestinya melihat kondisi ini," kata Said.
Sebelumnya, KSPI mencatat sebanyak 22.680 buruh yang terkena PHK sejak Januari hingga Maret 2016. Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun Republika dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), jumlah angka PHK periode Januari hingga pertengahan Februari jauh lebih kecil. Kemenakertrans mencatat sebanyak 285 kasus PHK yang menimpa 1.565 tenaga kerja selama periode Januari–Februari 2016. Jumlah PHK pada Januari tercatat sebanyak 208 kasus yang melibatkan 1.414 pekerja, sedangkan pada Februari terjadi 77 kasus PHK terhadap 151 pekerja.