Oleh: Nasarudin Umar
(Imam Besar Masjid Istiqlal)
Nabi Ayub dicoba dengan penyakit yang menjijikkan. Sekujur tubuhnya hancur, membusuk, dan dikerumuni ulat belatung. Hal yang lebih menyakitkan ialah istrinya pun ikut mengucilkannya. Saat itu ia berjanji akan mencambuk istrinya 100 kali seandainya penyakitnya sembuh. Nabi Ayub sabar menjalani penyakit yang dideritanya, meskipun sudah berusaha mencari tabib untuk menyembuhkan penyakitnya.
Ia juga sabar ketika dibuang dan dikucilkan masyarakat, meskipun bersedih karena keluarga terdekatnya ikut mengucilkannya. Kesabaran Nabi Ayub pada tingkat ini disebut shabir. Setelah sekian lama hidup di gua pengasingan, ia mulai bersahabat dengan lingkungannya. Ia juga bersahabat dengan penyakitnya, termasuk kerumunan belatung yang menggerogoti dirinya.
Konon, ia pernah memungut kembali belatung yang jatuh dari dirinya dengan mengatakan, kalian dulu musuhku, sekarang menjadi sahabatku. Hanya kalianlah yang mau menemani aku dalam kesunyian gua ini. Bahkan, ia menikmati penyakit dan kesendiriannya di dalam gua. Kesabaran Nabi Ayub pada tingkat ini sudah dapat disebut mashabir.
Suatu ketika, Nabi Ayub diperdengarkanlah sebuah teriakan, "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum." (QS Shad [38]: 42). Setelah itu tiba-tiba memancar air jernih dan sejuk dari bekas tumitnya. Nabi Ayub minum dan mandi dari air itu dan tiba-tiba ia merasakan perubahan yang amat besar dalam dirinya.
Ia tidak menyaksikan lagi luka di dalam dirinya dan sahabat-sahabat belatungnya tiba-tiba menghilang entah ke mana. Bahkan, bekas-bekas luka pun tidak tampak pada diri Nabi Ayub. Ia lalu sembah sujud atas kasih sayang Allah SWT terhadap dirinya. Sumur itu sudah dipugar tidak jauh dari makam Imam al-Nawawi, pengarang kitab wajib pesantren, Riyadh al-Shalihin, di luar Kota Suriah.
Setelah betul-betul kembali sehat dan normal, ia kembali ke dalam masyarakat sebagai nabi dan pemimpin umat. Ia juga diminta menunaikan janjinya mencambuk istrinya 100 kali, "Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS Shad [38]: 44).
Kesabaran di tingkat awal (shabir) masih menyisihkan sedikit keluhan. Sedangkan, kesabaran di tingkat akhir (mashabir) sudah tidak ada lagi keluhan, bahkan sudah bersahabat dengan penyakit dan penderitaan. Kita sering mendengarkan ungkapan: "Saya sudah memaafkan, tetapi belum bisa melupakan." Itu ungkapan shabir.
Ketika ia memaafkan dan kembali ke titik nol itu sudah mashabir. Orang-orang yang sudah sampai ke tingkat mashabir biasanya akan tampil beberapa keajaiban dalam dirinya. Itu tidak heran karena ia sudah begitu dekat dengan Tuhan sebagaimana diungkapkan dalam ayat: Innallah ma'a al-shabirin (Sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang sabar) (QS al-Baqarah [2]: 153).
Kata shabir menunjukkan kepada orang yang sabar, tetapi kesabarannya masih temporer, masih memberi batas, dan sewaktu-waktu masih bisa lepas kontrol sehingga kesabaran menjadi lenyap. Sedangkan, kata mashabir berarti orang yang sabar dan kesabarannya bersifat permanen tanpa batas. Kalau ada orang yang membatasi kesabaran dalam kurun waktu tertentu, seperti ungkapan "tapi kesabaran kan punya batas", maka orang itu belum masuk kategori mashabir. Sedangkan, shabur hanya berlaku untuk Allah SWT. Karena itu, salah satu sifat Allah yang ditempatkan dalam asma yang terakhir ialah al-Sabur.
Allah SWT disebut al-Shabur karena Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ulah dan tingkah laku hamba-Nya. Sekufur dan sezalim apa pun hamba, Ia tetap tidak bergeming dan tetap bersedia untuk memaafkannya. Ini buktinya bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih-Penyayang daripada Tuhan Maha Penyiksa dan Pendendam. Semoga kita semakin hari semakin matang sehingga memiliki kemampuan untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan, termasuk sifat kesabaran-Nya. Wallahu a'lam.