REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pemerintah dan organisasi kemasyarakatan Islam diharapkan dapat menyatukan pendapat dalam menentukan 1 Syawal 1437 Hijriyah sebagai awal perayaan Idul Fitri. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatra Utara Dr Ansari Yamamah di Medan, Sabtu (25/6) mengatakan penyatuan pendapat itu sangat diperlukan agar umat Islam dapat merayakan Idul Fitri secara bersama-sama.
Sebagai hari besar agama, Idul Fitri bukan sekadar bagian dari ibadah, tetapi memiliki makna sosial yang berkaitan dengan kekompakan dan kemasyarakatan dalam Islam. Selain itu, Idul Fitri juga salah satu bentuk "syiar" atau momentum dalam menunjukkan kebesaran Islam dan persaudaraan antara sesama umat Islam.
Karena itu, sangat disayangkan jika awal perayaan Idul Fitri berbeda sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kesan tiadanya kekompakan antara umat Islam di Tanah Air. Sebagai bagian dari elemen bangsa, ormas Islam yang ada di Indonesia perlu berkoordinasi dan bermufakat dengan pemerintah dalam menentukan 1 Syawal tersebut.
Kemudian, ormas-ormas Islam di Indonesia juga diharapkan patuh dengan keputusan pemerintah dan memercayakan pemerintah melalui instrumen yang ada untuk menentukan awal perayaan Lebaran. "Biarlah pemerintah yang menentukan karena di pemerintah terkumpul para pakar dan dilengkapi peralatan yang cukup (dalam menentukan 1 Syawal)," katanya.
Kekompakan dalam menentukan 1 Syawal akan menimbulkan kenyamanan bagi umat Islam sehingga dapat menimbulkan kekhusukan dalam menjalankan seluruh ibadah yang ada dalam bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri. Kemudian, kebersamaan dalam merayakan Idul Fitri juga dapat memperkuat persatuan bagi umat Islam sehingga lebih mudah diarahkan untuk mendukung program yang dicanangkan. "Bagaimana mau menyatukan dan memajukan umat Islam, dalam menentukan 1 Syawal saja kita susah bersatu," ujar Ansari.