REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan selama pelarangan eskpor konsentrat terhadap PT Freeport Indonesia (PTFI), tidak ada alasan bagi pemerintah untuk gentar menghadapi ancaman. Ancaman Freeport membawa sengketa hukum ke jalur arbitrase, menurut Fahmy belum tentu dilaksanakan.
"Freeport akan menghitung cost and benefit dalam menerapkan ancamannya," kata ekonom UGM ini lewat siaran pers, Rabu (22/2).
Salah satu perhitungan Freeport adalah semakin merosotnya harga saham McMoRan Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX). Dua tahun lalu, harga saham FCX masih bertengger sekitar 62 dolar AS per saham. Pada perdagangan akhir Desember 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi 8,3 dolar AS per saham. Pada Januari 2016, harga sahamnya turun lagi menjadi 3,96 dolar AS per saham.
"Salah satu penyebab sentimen penurunan harga saham FCX adalah tidak adanya kepastian perpanjangan Kontrak Karya Freeport dari pemerintah Indonesia," ujar Fahmy menerangkan.
Penerapan ancaman Freeport bisa lebih memperburuk harga saham FCX. Bahkan, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan penurunan harga saham FCX yang berkelanjutan akan memicu kebangkrutan McMoRan Copper & Gold Inc.
"Tentunya direksi dan pemegang saham tidak menghendaki kebangkrutan benar-benar menimpa McMoRan Copper & Gold Inc," ujar Fahmy.
Berdasarkan hitung-hitungan itu, menurut dia, kecil kemungkinan Freeport akan menerapkan acaman yang sudah ditebar. "Namun, ancaman Freeport, yang tidak lebih hanya gertakan sambal, tetap harus dilawan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia," tutur Fahmy mengingatkan.