REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto berpendapat pemerintah Indonesia kali ini tidak menjadikan bisnis hulu migas sebagai prioritas utama. Ia melihat sejak 2014 pemerintah lebih fokus pada energi yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
"Jadi kharakteristik atau arah pemerintahan sekarang, hulu migas bukan lagi prioritas," katanya dalam diskusi di Gedung Chevron, Jakarta, Selasa (16/5).
Ia melihat pemerintah adanya ketidakpercayaan pemerintah terhadap industri hulu migas. "Ada pandangan bahwa industri hulu migas saat ini eksklusif, mewah, dan sudah tidak signifikan lagi untuk APBN," ujar Agung menjelaskan.
Pemikiran seperti itu, menurutnya berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah, kata dia, selalu menghubungkan faktor efisiensi dan transparan dalam setiap biaya operasi.
"Ini yang mewarnai kebijakan dan regulasi saat ini," tutur Agung.
Ia mencontohkan mengenai Permen Nomor 37 Tahun 2016 Tentang Participating Interest 10 persen terhadap daerah. Jika dilihat dari perspektif daerah menurutnya sangat bagus karena dilibatkan. Namun jika dari sisi investor, tidak adanya insentif yang diperoleh.
"Investor yang akan menanggung ketika daerah tidak memiliki pendanaan, dilihat dari perspektif investasi, itu kontra produktif," tutur Agung.
Kemudian Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil dengan skema Gross Split. Ia melihat peraturan tersebut banyak kekurangan. Pemerintah menurut dia mengklaim kebijakan GS bisa mendatangkan efisiensi.