Ambil Keringanan Puasa Secara Tepat

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Didi Purwadi

Selasa 06 Jun 2017 01:01 WIB

Umat muslim mendengarkan ceramah di Masjid komplek Islamic Center Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. (ilustrasi) Foto: Republika/Musiron Umat muslim mendengarkan ceramah di Masjid komplek Islamic Center Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- TGH Said Ghazali memberi kajian di Masjid Hubbul Wathan di kompleks Islamic Center Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (5/6). Dalam kajian ba'da dzuhur tersebut, TGH Said Ghazali membahas makna surat al-Baqarah ayat 184 tentang orang-orang yang diperbolehkan meninggalkan puasa karena kondisi sakit atau dalam perjalanan.

Kategori sakit boleh tidak berpuasa adalah bila puasa malah mengancam nyawa atau puasa memperlambat penyembuhan. ''Maka mereka yang sakit ringan, tidak masuk dalam yang mendapat pengecualiaan. Karena sakit yang dimaksud adalah sakit parah,'' ungkap Ustadz Said.

Lalu, hal ini direfleksikan pada wanita hamil dan menyusui. Bila puasa berpengaruh pada ibu dan janin yang dikandung atau ibu dan bayi yang disusui, maka sang ibu boleh tidak berpuasa.

Sementara kebolehan meninggalkan puasa pada musafir adalah untuk jarak minimal 80-90 kilometer seperti yang disebutkan para ulama. Musafir yang dimaksud adalah orang yang bepergian ke suatu tempat untuk waktu tertentu dan bukan untuk maksiat.

Keringanan ruksah bagi musafir ini boleh dimanfaatkan atau boleh pula tidak. Para fuqaha menilai puasa atau tidak musafir, tergantung kondisinya. Sementara, menurut para sufi, musafir baiknya berpuasa. Sementara sebagian ulama lain menyarankan tidak berpuasa karena ini keringanan dari Allah.

''Untuk musafir, tidak ada opsi lain selain mengganti puasa yang ia tinggalkan saat menempuh perjalanan,'' kata Ustadz Said. ''Kalau tidak ada uzur, maka wajib segera mengganti puasa.''

Terpopuler