Jadi Amil di Negeri Gladiator

Red: Agung Sasongko

Jumat 09 Jun 2017 13:04 WIB

 H. Khumaini Rosadi, SQ., M.Pd.I menjadi amil di Roma, Italia. Foto: Dok. Pribadi H. Khumaini Rosadi, SQ., M.Pd.I menjadi amil di Roma, Italia.

Oleh: H. Khumaini Rosadi, SQ., M.Pd.I

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Satu-satunya profesi yang disebutkan secara jelas dan detail di dalam ayat Alquran adalah amil. Amil adalah petugas yang diamanatkan oleh pemerintah atau lembaga resmi zakat untuk mengumpulkan, mencatat, mengelola, dan mendistribusikan kepada mustahiknya, sesuai perintah yang telah Allah tetapkan dalam firman-Nya.

Ada lembaga yang memang berdedikasi khusus untuk pengelolaan dan pengembangan ZISWAF atau zakat infak sedekah wakaf, dan ini sudah banyak berdiri di kota-kota besar Indonesia, bahkan tersebar sampai mancanegara dengan cabang-cabang yang berkembang pesat dan terpercaya.

Ada juga UPZ (unit pengelola zakat) yang disepakati oleh pengurus di Masjid atau  Mushala yang mendapatkan izin dan pantauan dari pemerintah setiap Ramadhan mengumpulkan zakat infak sedekah dan fidyah untuk didistribusikan kepada mustahik sekitarnya.

Dalam surat at-Taubah ayat 60 disebutkan tentang Mustahik zakat - delapan golongan yang berhak mendapatkan penyaluran zakat. Amilin berada pada urutan yang ketiga setelah fakir dan miskin. Semua kita sudah maklum, bahwa fakir adalah orang yang butuh sekali, tidak memiliki pekerjaan yang pasti.

Bisa jadi pagi makan, belum tentu siangnya bisa makan apa tidak. Sedangkan miskin adalah orang yang masih punya pendapatan, tetapi masih saja kurang. Besar pasak daripada tiang.

Pendapatannya terkadang sudah habis dalam hitungan mingguan, padahal kebutuhan yang harus dijalani dalam hitungan bulanan. Gajian sebulan sekali di minggu pertama, ternyata jalan minggu kedua atau ketiga gaji itu sudah musnah untuk keperluan makan dan sekolah. Kalau sudah begini, terpaksa harus bekerja lebih mengorbankan waktu istirahatnya.

Pada selanjutnya disebutkan para mualaf yang butuh biaya untuk menambah pengetahuan keislamannya dan pembinaan imannya. Ini diperuntukkan untuk muallaf yang betul-betul butuh beaya, kalau sudah cukup atau kaya maka tidak perlu diberikan bagian zakatnya.

Karena terkadang ini jadi alasan bagi oknum muallaf untuk mencari keuntungan pribadi, mengaku butuh beaya sebagai muallaf ke masjid-masjid atau perusahaan besar, meminta bagian zakat atau CSR, ternyata modus pembohongan publik untuk memperkaya diri sendiri.

Berikutnya dari delapan golongan mustahik zakat adalah Hamba sahaya, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Jangan disamakan asisten rumah tangga yang telah membantu pekerjaan rumah tangga dan dibayar dengan gaji tinggi adalah hamba sahaya, yang bisa diperlakukan seperti istri sendiri. Ini  adalah pemikiran yang salah kaprah, ini namanya tafsir jalan lain.

Termasuk di dalam delapan golongan tersebut yang berhak mendapat zakat adalah orang yang banyak hutang. Hutang pun bukan hutang untuk gaya hidup seperti hutang properti, hutang arisan rumah atau vila, hutang kendaraan, dan sebagainya yang menambah kemewahan hidup.

Tetapi hutang disini, yang dimaksud adalah hutang beaya hidup. Untuk makan sehari-hari keluarganya masih kurang. Hutang untuk beaya anaknya sekolah masih harus pinjam. Hutang untuk kebutuhan kesehatan keluarganya masih memerlukan bantuan. Hutang seperti inilah yang dimaksud dengan al-ghorimin.

Termasuk juga fi sabilillah yang berhak mendapatkan distribusi zakat. Para santri yang menuntut ilmu, mahasiswa yang sedang menempuh kesarjanaannya, para guru yang masih butuh bantuan sarana dan pra sarana untuk mendukung pencapaian dakwahnya, dan orang-orang yang berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran yang masih butuh pendanaan.

Dan yang terakhir adalah ibnu sabil atau musafir. Orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dalam kebaikan, lalu kehabisan bekal, tidak ada lagi ongkos melanjutkan perjalanan kebaikannya, maka orang seperti inilah yang berhak mendapatkan distribusi zakat. Bukan orang yang sedang melakukan perjalanan dalam rangka berbuat sesuatu yang mengakibatkan menambahnya dosa, hura-hura, foya-foya, dan gaya-gaya. Maka orang seperti ini tidak boleh diberikan distribusi zakat.

Sebagai duta Cordofa – Corps Dai Ambassador Dompet Dhuafa di Italia, saya mendapatkan amanat juga untuk menjadi amil ambassador. Peluang potensi zakat masyarakat muslim Indonesia di Italia sangat besar. Terbukti masih di minggu pertama saya memberikan pencerahan sosialisasi tentang zakat infak sedekah dan wakaf, langsung disambut baik oleh jamaah dengan membayarkan zakat fitrah dan maalnya.

Di minggu pertama, Bapak Kolonel Bambang Dharmawan – Home Staff KBRI menyerahkan zakat maalnya sebesar 400 Uero, disambung oleh Bapak Imam Asrowi – lokal Staff KBRI meyerahkan zakat fitrahnya sebesar 50 euro, disambung lagi oleh Ibu Siti Rahayu – Home Staff KBRI menyerahkan zakat fitrahnya sebesar 50 euro.

Adapun besaran jumlah zakat fitrah di Roma disepakati 7 euro per orang. Jika ada yang memberi 10 uero berarti 3 uero nya dijadikan sebagai sedekah. Semoga ini menjadi motivasi untuk jamaah lainnya untuk menyalurkan zakatnya sebagai bentuk ketaatan agamanya dan kepedulian kepada orang-orang yang masih membutuhkan.

Semoga Allah melipatgandakan balasannya, memberkahkan rizkinya, dan menghapuskan dosa-dosa bagi para muzakkinya. Amin.

*Dai Ambassador Cordofa 2017, Tidim LDNU, Penulis Buku: Amroden Belbre; Perjalanan Dakwah 45 hari di Eropa Fathul Khoir; Metode Mudah Memahami Ilmu Tajwid

Terpopuler