Senin 03 Jul 2017 19:32 WIB

BI Ingatkan GWM Averaging Penting Bagi Stabilitas Keuangan

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nur Aini
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan pentingnya penerapan Giro Wajib Minimum rata-rata atau GWM averaging. Kebijakan itu  berlaku sejak 1 Juli 2017.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menegaskan, GWM merupakan instrumen moneter untuk pengendalian makro ekonomi. "Jadi meski perbankan hanya melihat GWM sebagai instrumen yang menyedot atau menambah likuiditas bagi bank, tapi bagi bank sentral di seluruh dunia, GWM adalah instrumen moneter untuk pengendalian uang beredar," ujarnya di Jakarta dalam diskusi mengenai GWM averaging, di Jakarta, Senin (3/7).

Mirza menegaskan, tugas bank sentral adalah menjaga stabilitas, meliputi kestabilan sistem keuangan dan kurs. Menurutnya, hal itu bisa terjaga bila inflasi terkendali. Sementara, inflasi bisa terkendali jika ketersediaan barang dan jasa cukup. "Menurut teori moneter, inflasi juga dapat dikendalikan dengan quantity of money, teori berkembang terus. Bila jumlah uang beredar terlalu banyak maka menurut teori harga barang dan jasa akan naik," kata Mirza.

Ia menuturkan, GWM bersifat menambah likuiditas atau menarik likuiditas. Bila GWM dinaikkan maka likuiditas diserap oleh bank sentral, sebaliknya bila GWM dilonggarkan maka likuiditas masuk ke perbankan.

"Jadi GWM average merupakan lanjutan reformasi kebijakan moneter BI untuk mejaga stabilitas. Mekanismenya, bank menaruh sejumlah uang tertentu 6,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK)," ujar Mirza. Ia mencontohnya, bila suatu bank memiliki total DPK sebesar Rp 500 triliun maka sekitar Rp 32,5 miliar harus ditaruh di BI.

Perbedaan antara GWM fix dan GWM averaging, kata Mirza, tergantung jangka waktunya. "Jadi kalau GWM fix, bank harus menaruh uang 6,5 persen dari DPK-nya ke BI setiap hari. Sedangkan kalau GWM averaging, rata-rata dua minggu menaruh uangnya," ujarnya.

Meski begitu GWM fix masih diterapkan sebesar lima persen dari DPK. Sementara, 1,5 persen DPK menggunakan GWM Averaging.

"Manfaatnya, bagi bank-bank yang sudah cukup baik dalam memanajemen likuiditasnya jadi ada keleluasaan dalam mengatur likuiditas. Diharapkan bawa benefit dan likuiditas masuk ke sistem," kata Mirza. Ia menambahkan, sebagian besar negara sudah beralih dari GWM fix ke GWM averaging.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement