Selasa 04 Jul 2017 12:56 WIB

Pemerintah Buka Peluang Freeport Perpanjang Izin Hingga 2041

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Menteri ESDM Ignasius Jonan memberikan keterangan pers terkait tarif tenaga listrik di gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (21/6).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Menteri ESDM Ignasius Jonan memberikan keterangan pers terkait tarif tenaga listrik di gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (21/6).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah membuka opsi bagi PT Freeport Indonesia untuk mendapat izin operasi hingga 2041. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan, meski kemungkinan perpanjangan hingga 2041 tetap terbuka bagi Freeport, tetapi pemerintah tetap mengacu pada pasal 83 Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang menyebutkan masa operasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bisa diberikan hingga 20 tahun, dengan perpanjangan dua kali sepuluh tahun.

Jonan menyebutkan, izin yang akan diberikan maksimal 20 tahun hingga 2041 tetapi dengan syarat akan ada peninjauan kembali pada 2031. Hal ini mengacu pada habisnya izin operasi Freeport berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang diteken antara perusahaan dan pemerintah pada 1991. Namun belum ada kejelasan apakah Freeport akan terus menganut kepada IUPK atau bakal kembali kepada rezim KK setelah masa IUPK sementara habis pada Oktober 2017 ini.

"Perpanjangan itu bisa dua kali 10 (tahun). Ya memang tujuannya itu (dievaluasi kembali pada 2031)," kata Jonan di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (4/7).

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Hary Sampurno mengungkapkan bahwa perpanjangan hingga 2041 sebetulnya belum disepakati secara resmi. Hanya saja, kata dia, pemerintah menyadari bahwa opsi itu ada sesuai dengan UU Minerba yang menyebutkan perpanjangan bisa dilakukan dua kali sepuluh tahun. Artinya, bila memang perpanjangan izin operasi bisa diberikan pasca-2021, maka evaluasi perpanjangan izin akan dilakukan kembali pada 2031 mendatang. Namun, ujarnya, bila Freeport memilih untuk tunduk di bawah rezim IUPK, maka perusahaan asal Amerika Serikat tersebut tetap wajib membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tambang atau smelter dalam lima tahun ke depan.

Pemerintah menegaskan untuk melakukan evaluasi secara berkala tiap enam bulan sekali, terhadap izin yang diberikan. Evaluasi tersebut untuk melihat progres pembangunan smelter oleh PT Freeport. Jika dalam waktu enam bulan hingga berakhirnya izin IUPK yang diberikan PT Freeport tidak juga membangun smelter, maka pemerintah akan mencabut izin ekspor. "Kalau smelter harus. Dalam lima tahun ke depan," ujar dia.

Sementara terkait dengan ketentuan perpajakan dan bea keluar yang harus dibayarkan Freeport, Fajar mengaku belum ada keputusan pasti setelah IUPK Sementara habis masa berlakunya. Hanya saja ia menegaskan bahwa Freeport tetap harus menganut skema prevailing bila mereka memutuskan mengikuti rezim IUPK. Freeport nantinya harus membayar Pajak Penghasilan (PPh), bea keluar, dan ketentuan pembayaran lainnya mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berbeda dengan kemauan Freeport sebelumnya yang menginginkan ketentuan perpajakan mengacu pada KK yang disepakati, atau skema naildown.

"Kalau dia pakai rezim IUPK, pakai prevailing. Kalau Freeport-nya kan prevailing namun pengen naildown. Jadi nanti akan diomongin lagi. Itu belum disepakati," ujar Fajar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement