REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Investasi di sektor energi terbarukan saat ini telah melewati pertumbuhan sektor batubara. Terutama di Asia. Partner and Managing Director Boston Consulting Group (BCG) Singapore Ashees Sastry mengatakan bahan bakar fosil, khususnya minyak memang masih akan mendominasi bauran energi.
"Namun inisiatif kebijakan baru telah membantu kawasan ini menuju era energi baru," ujar dia, dalam diskusi di Pertamina Energy Forum (PEF) 2017 di Jakarta, Selasa (12/12).
Dalam kesempatan yang sama, Analis Energi Senior World Energy Outlook(WEO), International Energy Agency Toshiyuki Shirai mengatakan saat ini Asia Tenggara tengah dihadapkan oleh permintaan energi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi global.
Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa negara di kawasan Cina, India dan Asia Tenggara mulai menyadari pentingnya pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam mengurangi dampak pemanasan global. Beberapa inisiatif kebijakan baru pun mulai dikeluarkan guna mengimplementasikan gerakan energi bersih, salah satunya yakni pengurangan anggaran subsidi bahan bakar fosil dan menaikkan anggaran untuk energi baru dan terbarukan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Menurut Executive Director Asia Pacific, Upstream Research and Consulting, IHS Markit, Nick Sharma, pada saat yang bersamaan, imbas dari kebijakan energi bersih di Cina dan Amerika Serikat diproyeksi mampu mengurangi permintaan bahan bakar sekitar 12 persen di 2040 secara global.
Menurutnya, kendaraan listrik diprediksi akan menjadi pilihan logis yang akan dipilih oleh masyarakat di masa depan. Saat ini terdapat lebih dari 99 persen (1.28 miliar unit) mobil di dunia berbahan bakar minyak, semetara 0,2 persennya menggunakan tenaga listrik.
"Di 2040 nanti, kami memproyeksikan sepertiga dari penjualan mobil baru di pasar otomotif dan energi terbesar di dunia - China, Eropa, India, dan Amerika Serikat - sekitar 16 persen mobil di jalan akan beralih tenaga ke listrik," ujar Nick.