Rabu 28 Feb 2018 12:19 WIB

Produksi Berlebih, Masyarakat Didorong Konsumsi Unggas

Populasi unggas kini sudah mencapai 1 miliar ekor.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Dwi Murdaningsih
Pedagang melayani pembeli daging ayam potong di Pasar Senen, Jakarta, Ahad (14/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Pedagang melayani pembeli daging ayam potong di Pasar Senen, Jakarta, Ahad (14/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi unggas di Indonesia diklaim terus mengalami peningkatan bahkan berlebih. Hal tersebut membuat Kementerian Pertanian mendorong masyarakat mengkonsumsi unggas sebagai sumber protein hewani.

"Jumlah populasi unggas di Indonesia yang pada tahun 70-an hanya ratusan ribu ekor kini telah menjadi lebih dari 1 miliar ekor," ujar Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian PertanianI Ketut Diarmita melalui siaran pers.

Produksi daging unggas yang sudah swasembada ini diakui Ketut dapat menjadi motor untuk mengubah pola konsumsi protein hewani asal ternak dari daging merah ke daging putih. Menurutnya selama hampir lima dekade terakhir, peranan unggas baik lokal maupun ras semakin meningkat dalam sumbangannya terhadap produksi daging nasional.

Berdasarkan data statistik peternakan, pada awal tahun 70-an kontribusi daging unggas hanya sebesar 15 persen, tetapi produksi pada 2017 mencapai 2.147,21 ribu ton atau 66,34 persen terhadap produksi daging secara keseluruhan.

Begitu juga dengan produksi telur yang memberi kontribusi cukup besar dalam penyediaan protein hewani. Dari total produksi telur secara keseluruhan sebanyak 1.970.853 ton, telur ayam buras sebanyak 196.138 ton (9,95 persen), sedangkan telur ayam ras sebanyak 1.428.195 ton (72,47 persen), dan telur itik sebanyak 290.110 ton (14,72 persen).

"Populasi unggas lokal seperti ayam buras dan itik cenderung stabil dan peningkatannya relatif kecil," katanya.

Menurutnya, selama tahun 2012 2015 peningkatan ayam buras hanya berkisar antara 4 5 persen, sedangkan ayam ras pedaging 6 persen, ayam ras petelur 5,7 persen serta itik 0,1 persen.

Peningkatan populasi unggas lokal ini tidak setinggi ayam ras, sehingga ayam buras makin lama makin tertinggal peningkatan populasinya. Selain populasi, produksi ayam buras juga dinilai lambat dan usahanya dibatasi persyaratan hanya untuk UMKM.

Untuk itu, unggas lokal perlu diarahkan dan dikembangkan dengan sentuhan teknologi agar tetap berkembang namun tetap menjadi perusahaan UMKM dan tidak meniru pola pengembangan ayam ras.

Saat ini pengembangan unggas lokal masih bersifat mikro, penguasaan input produksi sejak dari hulu sampai hilir identik dengan peternakan rakyat yang berbasis sumber daya lokal. Sebaliknya untuk ayam ras telah menjadi industri besar yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang mampu memenuhi konsumsi daging dan telur domestik.

Saya melihat, kata Ketut, ayam buras sangat akrab di pedesaan dan dapat menjadi kegiatan penting dalam menggerakkan perekonomian pedesaan. Untuk itu, pemerintah mengembangkan usaha ternak ayam buras di masyarakat sebagai instrumen dalam program pengentasan kemiskinan dan perbaikan gizi masyarakat.

"Selain ayam buras, itik juga dapat menjadi instrumen penting untuk peningkatan gizi masyarakat dan tambahan income bagi Rumah Tangga yang memelihara," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement