REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga beras yang hingga kini tak kunjung turun disebabkan adanya persaingan antara Bulog dengan pasar. Perum Bulog pun diharapkan dapat menghentikan penyerapan sementara. "Jangan sekarang, satu sampai dua minggu ini biarkan dulu biar ngisi pasar dulu. Enggak lama," ujar Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso usai FGD di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kamis (8/3).
Ia menjelaskan, saat ini gabah hasil panen baru mengisi pasar umum yakni sekitar 95 persen. Meski dahulu, pasar umum hanya 90 persen dengan 10 persen dipasok Bulog melalui beras sejahtera (rastra).
Menurutnya, dalam kurun waktu dua pekan, Bulog bisa beristirahat sejenak sambil menunggu pasar umum terpenuhi. Dengan cara tersebut, permintaan atau demand pun akan berkurang dan membuat harga beras bisa dijual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Tingginya harga beras diperparah dengan adanya fleksibilitas yang diberikan kepada Bulog. Menurut Sutarto, harga yang dibeli oleh Bulog menjadi patokan terendah. Itu artinya, dengan fleksibilitas 20 persen membuat pelaku bisnis di lapangan akan menggunakan harga tersebut dan harga di pasar berada di atas HET. Lagipula, kata dia, pada saat jelang panen fleksibilitas tidak perlu dilakukan.
"Begitu keluar fleksibilitas, (gabah, Red) yang tadinya sempat turun justru naik lagi karena dipicu keputusan Bulog harus membeli dengan fleksibilitas," katanya.
Sementara untuk memenuhi stok pemerintah bisa saja melakukan impor. Dengan catatan, dia mengatakan, produksi memang kurang. "Tapi kalau produksinya cukup dan lebih, pasti nanti akan dapat dari pengadaan dalam negeri," kata dia.