REPUBLIKA.CO.ID, SOFIA -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan Uni Eropa (UE) harus melindungi perusahaan-perusahaan negara anggota UE yang menjalin bisnis dengan Iran. Hal ini menyusul diberlakukannya kembali sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat (AS) pascamenarik diri dari kesepakatan nuklir Iran.
Ketika menghadiri pertemuan puncak para pemimpin Uni Eropa di Bulgaria pada Kamis (17/5), Macron ditanya apakah perusahaan minyak Prancis, yakni Total, akan menarik diri dari Iran guna menghindari sanksi AS. Macron menjawab, hal itu terserah kepada perusahaan yang aktif di berbagai pasar untuk membuat keputusan sendiri.
"Perusahaan internasional dengan kepentingan di banyak negara membuat pilihan mereka sendiri sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Mereka harus terus memiliki kebebasan ini," ujar Macron.
"Tetapi yang terpenting adalah bahwa perusahaan, dan khususnya perusahaan menengah yang mungkin kurang terekspos dengan pasar lain, Amerika atau lainnya, dapat membuat pilihan ini dengan bebas," kata Macron menambahkan.
Kendati demikian, Macron menegaskan Uni Eropa harus berdiri di sisi perusahaan yang lebih kecil yang bersedia menjalankan bisnis di Iran. "Prancis mendukung proposal Komisi Eropa untuk melindungi dan memberi kompensasi kepada perusahaan-perusahaan Eropa yang mungkin terkena sanksi AS untuk berdagang dengan Iran," ujarnya.
Pekan lalu Presiden Donald Trump memutuskan menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran. Trump memang telah berulang kali menyatakan ketidakpuasannya terhadap kesepakatan ini.
Hal ini karena dalam kesepakatan tersebut tak dibahas perihal program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah.
Dengan ditariknya AS dari kesepakatan tersebut, Trump memutuskan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Iran. AS juga akan memberi sanksi kepada negara atau perusahaan yang menjalin kerja sama ekonomi atau bisnis dengan Teheran.
Pemerintah Iran mengatakan sanksi ekonomi terbaru yang dijatuhkan AS terhadapnya merupakan sebuah upaya untuk menggagalkan usaha mempertahankan kesepakatan nuklir, yang juga dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). "Dengan langkah-langkah merusak seperti itu, Pemerintah AS sedang mencoba untuk memengaruhi kehendak dan keputusan dari penandatanganan JCPOA yang tersisa," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahrem Qasemi pada Rabu (16/5).
Kendati AS hengkang, Uni Eropa, Jerman, Prancis, dan Inggris masih berkukuh mempertahankan kesepakatan nuklir Iran.Menteri luar negeri ketiga negara telah bertemu kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Federica Mogherini di Brussels, Belgia, pada Selasa (15/5), untuk membahas hal ini. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif juga hadir dan bertemu Mogherini.
Dalam pertemuan terpisah itu Mogherini menegaskan kembali keinginan Uni Eropa untuk mempertahankan eksistensi kesepakatan nuklir Iran."Kami menegaskan kembali bersama tekad kami untuk terus menerapkan kesepakatan nuklir di semua bagiannya, dengan iktikad baik, dan dalam suasana konstruktif," ujarnya.
Kanselir Jerman Angela Merkel telah menyatakan hal serupa.Menurutnya, kesepakatan tersebut merupakan cara terbaik mengatasi kekhawatiran internasional terkait program rudal balistik Iran dan perannya di kawasan.
"Pertanyaannya adalah, apakah Anda dapat berbicara lebih baik jika Anda mengakhiri kesepakatan (nuklir) atau jika Anda berada di dalamnya. Kami katakan Anda dapat berbicara lebih baik jika Anda tetap di dalamnya," kata Merkel kepada anggota parlemen di majelis rendah Bundestag pada Rabu (16/5).
Kesepakatan nuklir Iran ditandatangani Iran bersama Prancis, Inggris, AS, Jerman, Cina, Rusia, dan Uni Eropa pada Oktober 2015. Kesepakatan ini mulai berlaku atau dilaksanakan pada 2016.
Kesepakatan ini tercapai melalui negosiasi yang cukup panjang dan alot. Tujuan utama dari kesepakatan ini adalah memastikan bahwa penggunaan nuklir oleh Iran hanya terbatas untuk kepentingan sipil, bukan militer. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi dan embargo yang dijatuhkan terhadap Teheran akan dicabut.