REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang hari raya Idul Fitri, mayoritas masyarakat yang bekerja di perkotaan akan kembali menuju kampung halamannya masing-masing. Seperti tahun-tahun sebelumya, masyarakat saat ini sudah mulai disibukkan untuk mudik Lebaran ke kampung halaman.
Namun, apa sebenarnya esensi dan substansi dari tradisi ini?
Wakil Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Amlir Syaifa Yasin menjelaskan bahwa esensi tradisi mudik tahunan ini tidak lain adalah untuk bersilaturrahmi kepada sanak keluarga. Menurut dia, tradisi ini menjadi memontum agar kota tidak lupa terhadap keluarganya.
"Esensi mudik ini tentu silaturrahmi dengan keluarga karena sudah lama tak jumpa. Sekali setahun minimal kan Idul Fitri momentum ketemu sanak famili," ujar Amlir saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (8/6).
Selain itu, tradisi mudik ini juga untuk melepas kerinduan kepada teman-teman sejawat saat masa kecil dulu. Bahkan, kata dia, dalam tradisi ini umat Islam biasanya menjadikannya sebagai ajang untuk berbagi rezeki.
"Di samping melepas kerinduan bisa juga berbagi rezeki yang barangkali yang dari rantau mungkin ada kelebihan rezeki dibagi-bagi pada keluaga sanak famili di kampung halaman," ucapnya.
Kendati demikian, menurut dia, ada koridor syar'i yang harus diperhatikan dalam tradisi mudik ini. Di antaranya, kata dia, pemudik yang datang dari kota tidak boleh menebar kesombongan ataupun pamera atas keberhasilannya.
"Yang penting pertama kan tidak berlebih-lebihan ataupun berfoya-foya. Yang kedua jangan sampai kita ke kampung halaman memerkan kelebihan kita dengan orang lain di kampung," katanya.
Di satu sisi, lanjut dia, tradisi mudik juga memiliki hal positif bagi sanak keluarga yang mungkin belum mendapatkan sumber penghasilan di kampung. Karena, sanak keluarganya yang belum mendapat pekerjaan itu nantinya bisa dibantu untuk mendapatkan kerja di kota.
"Itu kan hal-hal yang baik saja sebenarnya kan untuk meningkatkan kapasitas keluarga," jelasnya.
Dia mengatakan, agar mudik memberikan keberkahan dan manfaat bagi semua orang, maka semua pihak harus membantu agar ekonomi juga merata ke daerah masing-masing. Misalnya, dengan membelanjakan hartanya di daerah untuk saling saling berbagi.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Ta' mir Masjid (LTM) PBNU Ibnu Hazen menjelaskan bahwa filosofi dari tradisi mudik di Indonesia adalah agar ingat terhadap tanah leluhur. Dengan mudik, masyarakat juga tidak lupa terhadap keluarganya.
"Tradisi itu kan ingat kepada tanah leluhur, tradisi mudik itu. Rasulullah sendiri ketika melihat kota kelahirannya Madinah, itu untanya di suruh segera lompat, segera lari saking cintanya untuk tanah kelahirannya," ujarnya.
Menurut dia, kecintaan Rasulullah kepada tanah kelahirannya itu sama haknya dengan para mudik yang ingin melelaskan kerinduan ke kampung halamannya masing-masing.
"Sama juga dengan mudik ini orang ketika mudik lebaran, ingat kampung halamannya dan leluhurnya sehinga tertarik untuk pulang. Filosofinya seperti itu," katanya.
Dia mengatakan, tradisi mudik ini juga berkaitan dengan ajaran Islam karena mudik memiliki esensi silaturrahim. Menurut dia, dengan melakukan silaturrahim ketika mudik maka bisa menambah rezeki.
"Silaturahim itu katanya juga menambah rezeki, di samping memperbanyak kawan juga menambah rezeki," ujarnya
Karena itu, menurut dia, tahun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melayani masyarakat yang ingin mudik dengan menyediakan 50 bus full AC dan akan mengangkut sekitar 3.000 peserta mudik PBNU mulai Sabtu (9/5) besok. Menurut dia, tradisi mudik ini akan memeberikan keberkahan dan manfaat kepada semua orang.
"Karena itu, LTM PBNU ini judulnya mudik berkah bareng Nahdlatul Ulama. Jadi bukan mudik gratis ktia istilahnya, tapi berkah," katanya.
Dia pun mengingatkan agar masyarakat yang ingin mudik tidak menyombongkan diri di kampung halamannya masing-masing, sehingga mudiknya membawa berkah.