Rabu 29 Aug 2018 17:16 WIB

Rupiah Melemah, PLN Rugi Rp 5,3 Triliun pada Semester Satu

Kenaikan beban produksi ini terlihat dari tiga komponen bahan utama,

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas PT PLN (Persero) cabang Kendari melakukan pemeliharaan jaringan listrik di perbatasan Kendari dan Kabupaten Konawe, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (28/8). Pemerintah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp 156,5 triliun pada RAPBN tahun 2019
Foto: Jojon/Antara
Petugas PT PLN (Persero) cabang Kendari melakukan pemeliharaan jaringan listrik di perbatasan Kendari dan Kabupaten Konawe, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (28/8). Pemerintah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp 156,5 triliun pada RAPBN tahun 2019

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT. PLN (Persero) pada laporan keuangan yang telah diaudit menunjukan posisi keuangan kurang baik. PLN tercatat merugi hingga Rp 5,3 triliun. Kerugian ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kenaikan kurs dan kenaikan harga bahan pokok produksi.

Direktur Bisnis Regional, Amir Rosyidin menjelaskan semester satu ini memang PLN mengalami kerugian yang cukup besar. Kenaikan kurs menjadi faktor utama kerugian PLN ini.

Dalam APBN tercatat kurs yang dipakai sebesar Rp 13.400 per dolar AS.  Padahal, kondisi saat ini rupiah mencapai di atas Rp 14 ribu per dolar AS. Hal ini menyebabkan rugi selisih kurs sebesar Rp 11 triliun.

Padahal, menurut laporan keuangan, pada 2017 kemarin, selisih kurs PLN hanya Rp 222 miliar. "Dengan adanya selisih kurs membuat kita di bottom line memang rugi," ujar Amir di DPR RI, Rabu (29/8).

Selain kenaikan kurs, dalam laporan keuangan PLN tercatat, bahwa kerugian PLN juga disebabkan naiknya beban bahan pokok produksi. Jika pada semester satu tahun lalu beban pokok produksi PLN mencapai Rp 130,25 triliun, pada semester tahun ini beban pokok produksi PLN naik menjadi Rp 142,42 triliun.

Baca juga, Pelemahan Rupiah, PLN Rugi Hingga Rp 6 Triliun.

Kenaikan beban produksi ini terlihat dari tiga komponen bahan utama, yaitu batubara, solar dan gas. Untuk ongkos bahan pokok PLTU yang semula Rp 17 triliun di tahun 2017 naik menjadi Rp 22 triliun.

Sementara untuk ongkos bahan pokok PLTD yang semula Rp 9 triliun di 2017 naik menjadi Rp 11 triliun pada tahun ini. Sedangkan gas, yang semula beban pokok produksi sebesar Rp 23 triliun naik menjadi Rp 26 triliun.

Direktur Pengadaan Korporat PLN, Syofvie Rukman menjelaskan, kenaikan bahan pokok produksi ini tak lain karena penguatan dolar. Selama ini PLN melakukan transaksi jual beli bahan ini menggunakan acuan dolar.

"Iya dong pasti. ICP naik, gas naik gak? naik. Batubara juga kan baru setelah tanggal 12 Maret. Tapi kan di depan kan pakai kondisi kemarin. Persoalan kurs ini memang bikin PLN harus tarik nafas," ujar Syofvie saat ditemui di komplek DPR, Rabu (29/8).

Di satu sisi, kata Syofvie pertumbuhan konsumsi PLN hingga Juli ini masih diangka 5,1 persen. Hal ini juga menjadi pengaruh atas konsumsi listrik. Meski begitu, pada semester awal 2018 ini, PLN mencatatkan pendapatan yang naik dari Rp 122 Triliun menjadi Rp 131 triliun. "Kami berharap di empat bulan sisa ini, kita bisa meningkatkan pendapatan," ujar Syofvie.

Disatu sisi, Syofvie juga menjelaskan langkah agar kerugian tidak semakin membengkak di akhir tahun. PLN tetap akan melakukan efisiensi yang ditargetkan bisa mencapai Rp 5 triliun. "Langkahnya banyak, kita paling tidak bisa mengurangi losess. Itu satu persen losess saja bisa sampai Rp 3 triliun loh. Di satu sisi, kita juga melakukan penghematan pengadaan dan efisiensi pasokan," ujar Syofvie.

Efisiensi pasokan yang disebutkan Syofvie adalah memaksimalkan zonasi batubara. Syofvie menjelaskan, jika zonasi batubara ini akan lebih dimaksimalkan dengan memotong arus pengiriman dari sumber ke konsumen bahan baku.  "Jadi kita lebih memaksimalkan lagi zonasi," ujar Syofvie.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement