REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lembaga perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan Rifka Annisa Yogyakarta menyatakan siap menerima pengaduan kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan kampus atau lembaga pendidikan lainnya.
"Kami mendorong korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan untuk berani bersuara dan mengungkapkan kebenaran atas kasus kekerasan yang dialaminya," kata Direktur Rifka Annisa, Suharti, Selasa (7/6).
Menurut Suharti berdasarkan pengalaman penanganan kasus di Rifka Annisa, kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan seringkali merupakan kasus kekerasan seksual yang melibatkan lebih dari satu korban. Meskipun demikian, pada kenyataannya hanya sedikit korban yang berani melaporkan kejadian yang dialami.
Penyebabnya, menurut dia, antara lain karena posisi relasi kuasa yang tidak berimbang antara korban dan pelaku, proses hukum pidana yang panjang dan berat bagi korban dan keluarga, tekanan sosial atas nama menjaga nama baik institusi, dan stigma negatif bagi korban kekerasan seksual.
"Selain itu tidak ada mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan yang menjamin keamanan dan kerahasiaan korban," kata dia.
Suharti menyebutkan, sejak tahun 2000 hingga 2015, Rifka Annisa setidaknya telah menangani 214 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh oknum profesi dosen, guru, maupun staf akademik.
Menurut Suharti, minimnya kasus kekerasan seksual yang bisa dilanjutkan ke proses hukum disebabkan oleh lemahnya sistem dan penegakan hukum di antaranya terkait dengan pembuktian.
"Unsur pembuktian terkadang sulit untuk dipenuhi karena peristiwa kekerasan seringkali terjadi di ruang privat, tidak ada saksi dan minimnya alat bukti lainnya," kata Suharti.
Dalam konteks itu, menurut dia, Rifka Annisa mendorong adanya mekanisme penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kampus meliputi mekanisme pengaduan, pendampingan hukum, serta pendampingan psikologis bagi korban kekerasan.