REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Mahasiswa program Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan alat pengatur suhu ruangan untuk membantu petani. Alat bernama Autogrow tersebut berfungsi mengatur kondisi suhu sesuai kebutuhan tanaman di dalam ruangan.
Autogrow ini memungkinkan mengatur suhu, kelembapan, iklim cuaca, dan cahaya secara otomatis meskipun berada dalam ruangan. Sehingga tanaman tetap dapat tumbuh subur.
Tim pembuat Autogrow sendiri terdiri atas Pranara P. Christian Sitepu, Noor Azizah, dan Giovanni Guliano. Tim ini dibimbing oleh Ary Setijadi P dan Reza Darmakusuma dari Program Studi Teknik Elektro dan Iriawati dari Program Studi Biologi.
Menurut Pranata P.Christian Sitepu, ide produk ini tercetuskan karena pesatnya pertumbuhan populasi manusia yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah pangan. Sehingga bisa menyebabkan kelangkaan pangan di kemudian hari.
“Hal yang paling kami soroti tingginya harga cabai dan sayur di Indonesia pada tahun 2017 akibat kegagalan panen petani. Gagalnya panen petani ini disebabkan karena petani sangat bergantung pada iklim, dan petani tidak bisa memprediksikan iklim tersebut,” kata Pranata seperti siaran persnya.
Ia mengungkapkan dengan latar belakang tersebut, produk Autogrow ini tercetus dan mulai digarap untuk segera disebarluaskan dan digunakan oleh masyarakat khususnya petani sebagai sasaran utama. Alat ini mampu membuat kondisi iklim yang stabil dan ideal sesuai kebutuhan tanaman.
Selain itu, sasaran pengguna produk ini adalah penduduk perkotaan yang tidak mempunyai lahan untuk bercocok tanam sehingga alat ini dibuat untuk dapat digunakan dalam ruangan. Ide ini muncul dari MIT Agriculture Department yang sedang melakukan riset tentang pengaturan iklim dalam ruangan untuk tanaman
Dalam alat ini, kata dia, terdapat database yang digunakan untuk menyimpan data pembacaan kondisi iklim selama satu bulan terakhir yang dapat digunakan untuk melihat kondisi iklim pada hari-hari sebelumnya.
Hardware autogrow terdiri atas sensor suhu, kelembaban, dan karbondioksida untuk membaca kondisi udara, sensor intensitas cahaya, serta sensor pH, konduktivitas listrik, dan suhu untuk cairan larutan nutrisi.
Selain itu terdapat kamera yang terpasang untuk mengambil foto pertumbuhan tanaman setiap harinya dan melakukan pengolahan citra tanaman untuk mengecek kondisi pertumbuhan tanaman sudah optimal atau belum dan sudah siap panen atau belum. Ketika belum optimal, maka parameter yang dimasukkan pengguna akan diperbarui otomatis agar dapat memperoleh hasil panen yang optimal.
"Cara penggunaan produk ini cukup mudah. Pengguna membeli produk kemudian menyambungkan ke sumber listrik, menyambungkan alat dengan internet, memasukkan bibit tanaman yang telah disemai ke dalam alat beserta larutan nutrisinya, lalu memasukkan parameter kondisi iklim melalui aplikasi android, dan kemudian menunggu hingga waktu panen tiba," tuturnya.
Ia mengatakan alat ini masih merupakan purwarupa pertama. Biaya yang dikeluarkan masih belum optimal. Biaya pembuatan berkisar di Rp 5-6 juta. Lama pembuatan alat dalam riset kurang lebih satu setengah tahun, yaitu 6 bulan perencanaan, 5 bulan pembuatan alat, dan 6 bulan percobaan dan evaluasi sistem.
Harapannya, dengan adanya alat tersebut bisa berfungsi lebih optimal dan dapat mengimitasi iklim-iklim di belahan dunia lain sehingga masyarakat dapat menanam berbagai macam sayuran dan dapat digunakan oleh masyarakat.