REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengungkap inovasi dan riset di Indonesia akan sulit berkembang jika lebih banyak dibiayai oleh Pemerintah. Saat ini, sumber dana untuk riset dan inovasi di Indonesia, 80 persennya berasal dari Pemerintah melalui anggaran pendapatan belanja negara (APBN), sedangkan swasta hanya 20 persen.
Karena itu, Bambang mengungkap, peran pemerintahlah yang lebih banyak dalam pengembangan riset dan iniovasi.
"Jadi yang tertarik, yang sibuk melakukan riset itu Pemerintah di Republik ini, justru ini yang membuat riset tidak akan maju, karena riset tidak didorong oleh suatu kebutuhan yang real," ujar Bambang saat hadir dalam Rapat Kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Kantor BPPT, Jakarta, Senin (24/2).
Ia menerangkan, kondisi ini berbeda dengan Jepang dan Korea yang lebih banyak didorong oleh swasta dan industri, yang presentasenya berbanding terbalik dengan Indonesia. Menurut Bambang, 80 persen pembiayaan riset dan inovasi dilakukan oleh swasta.
"Di sana Pemerintahnya cuma 20 persen, itu ideal, karena swastalah yang tahu apa yang menjadi kebutuhan di market (pasar) yang membutuhkan riset dan inovasi, bukan Pemerintah," ujarnya.
Sebab menurut Bambang, jika Pemerintah yang sibuk dengan riset dan inovasi, maka nantinya Pemerintah tidak fokus pada riset tetapi justru pada penyerapan anggaran. Hal ini juga yang dikhawatirkan terjadi pada riset dan inovasi nasional.
"Kalau Pemerintah yang sibuk, maka ujungnya adalah penyerapan anggaran yang tidak berujung pangkal, yang tidak jelas apa fokus risetnya," ujar Bambang.
Selain sumber dana, Bambang mengungkap, kecilnya anggaran membuat riset dan inovasi sulit berkembang. Saat ini, anggara riset dan inovasi Indonesia hanya 0,25 persen dari GDP Indonesia.
"Sangat jauh dibandingkan dengan negara yang paling maju di dunia untuk persentase ini yaitu Korsel, yang di atas 4 persen," ujarnya.