REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
Guru itu laksana pemimpin. Guru punya andil besar melahirkan pemimpin-pemimpin baru dengan latar belakang profesi yang beragam di masa depan. Hebat atau rusaknya pemimpin baru yang dilahirkan bisa sangat dipengaruhi oleh sosok guru.
Mampukah guru menginspirasi murid-murid untuk menjadi pemimpin sejati? Atau justru sebaliknya, guru adalah aktor utama yang mematikan jiwa kepemimpinan yang tersimpan dalam diri setiap muridnya.
Satu hal yang patut dicermati, guru memang takkan pernah bisa jadi pemimpin jika dia miskin integritas. Karena miskin integritas, guru tak memiliki karisma dan inspirasi di mata murid-murid. Jika guru sudah tak inspiratif bagi murid, maka konsepsi guru sebagai sosok pemimpin memang hanya akan menjadi wacana saja.
Kareem Abdul Jabbar pernah berujar, “As a parent, I have a job as a role model to my children, and by extension, to other young people”. Pemain legendaris NBA yang pernah memperkuat klub Milwauke Bucks (1969-1975) dan Los Angeles Lakers (1975-1989) ini paham dan sadar dia bisa manfaatkan popularitas kebintangannya agar menjadi inspirasi positif bagi generasi muda, termasuk anaknya.
Mengapa orang dewasa mesti memberikan inspirasi keteladanan bagi anak-anak? Seorang penulis, James Baldwin, punya jawabannya, “Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them.”
Anak itu tak pernah gagal jadi peniru ulung. Persoalannya, hal apa yang menarik untuk ditirunya. Jika nilai-nilai keteladanan, bersyukurlah. Jika contoh buruk, maka awal dari segala keburukan memang sedang dimulai.
Nah di Indonesia, sosok yang digadang-gadang jadi artis pujaan anak muda tiba-tiba terjerat narkoba, terbukti melakukan seks bebas. Glamor kebintangannya melahirkan sikap hedonis dan merangsang sikap konsumtif, kasihan deh anak-anak muda Indonesia. Mengapa anak muda harus dikasihani? Karena para figur publik idola mereka tak konsisten memberikan keteladanan.
Alih-alih memberikan keteladanan, jangan-jangan mereka juga tak paham mengapa dan untuk apa menjadi idola anak muda Indonesia. Popularitas dan ketenaran itu membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab besar.
Guru itu pemimpin. Meski bukan seorang bintang idola, tapi sadarilah bahwa guru bisa melahirkan bintang-bintang idola berjiwa pemimpin. Pemimpin bicara soal ide dan harapan masa depan. Idenya tak melulu soal bagaimana meraih status pegawai negeri sipil, mendapat tunjangan sertifikasi, meraih jabatan struktural, dan kenikmatan dunia lain untuk diri sendiri.
Guru pemimpin, paham manfaatnya sangat besar untuk menyiapkan pemimpin masa depan Indonesia. Ide dan harapannya tak berorientasi AKU, tapi MEREKA, anak-anak muda Indonesia yang mesti tumbuh berkembang jiwa-jiwa kepemimpinannya.
Hidup yang merdeka adalah ciri seorang guru pemimpin. Mereka tak takut dengan atasan. Mereka tak silau dengan harta dan jabatan. Hanya satu yang mereka takutkan, cara berpikir dan bersikapnya jauh dari nilai-nilai kebenaran.
Guru pemimpin akan jatuh bangun pertahankan idealisme kebenaran. Jangan lupa, negeri ini nihil pemimpin, maka guru pemimpin harus tegar bak batu karang menahan segala cobaan yang hendak menguji karakter kepemimpinan mereka.
Guru di negeri nihil pemimpin, posisinya sangat terpojok, begitu tulis Sidharta Susila. Ada dua realitas bersebrangan yang mesti dihadapi guru. Di satu sisi, guru harus menginspirasi murid untuk cinta tanah air dan bangsa lewat karya terbaik mereka. Di lain pihak, negeri ini disesaki tontonan perilaku pemimpin gadungan yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sistem kehidupan tak cukup kondusif membantu menguatkan peran guru untuk melahirkan dan mendidik calon-calon pemimpin baru Indonesia. Akhirnya, teori tak pernah seiring dengan realitas yang terjadi. Anak-anak kita tak punya figur pemimpin yang inspiratif di Indonesia.
Malapetaka benar-benar terjadi andai orangtua dan guru pun tak mampu menghadirkan dirinya sebagai pemimpin sejati di mata anak-anak. Tegasnya, tak ada konsistensi keteladanan yang menginspirasi anak-anak.
Jika hal demikian benar adanya, maka tak usah heran jika perilaku anak muda jadi tak karuan. Tawuran pelajar, geng motor, narkoba, free sex begitu menjamur di seantero bumi pertiwi. Leonard Sax pernah mengatakan, "If we fail to provide boys with pro-social models of the transition to adulthood, they may construct their own. In some case, gang initiation rituals, street racing, and random violance may be the result".
Karena tak ada figur teladan, anak muda zaman sekarang mencoba membuat model yang diciptakan kelompok mereka sendiri untuk memuaskan hasrat pencarian jati diri mereka. Teringat lirik lagu Bung Ebiet G. Ade, ini salah siapa? Ini dosa siapa?
Guru jelas tak berdosa dan tak layak menjadi pihak pertama yang disalahkan. Guru juga butuh figur pemimpin yang setia memberikan keteladanan. Tak lupa sistem yang mendukung mewujudnya karakter kepemimpinan guru.
Saya sangat sepakat dengan gagasan Pak Sidharta Susila, kita mesti menciptakan ruang istimewa untuk memupuk benih karakter kepemimpinan anak-anak kita, calon pemimpin masa depan Indonesia.
Sekolah adalah ruang berperistiwa yang bisa dimanfaatkan guru untuk mendidik calon-calon pemimpin. Sayangnya, ruang berperistiwa ini tak dikawal sistem dan orang yang berkarakter pemimpin. Tapi pimpinan yang lebih nyaman memanipulasi daripada mendorong semua sumberdaya yang dimiliki sekolah.
Sekarang, pilihan ada di tangan guru-guru Indonesia. Apakah Bapak dan Ibu guru masih berkenan tetap setia hidup sederhana untuk menjaga sikap idealisme? Ataukah terjerumus arus besar yang menjanjikan segala tipu daya kemewahan yang justru bisa menghancurkan karakter kepemimpinan? Miskin atau kaya, bagi seorang guru pemimpin, hal itu biasa saja. Karena hal luar biasa yang menjadi pilihan hidup mereka adalah hidup sederhana.
Kekayaan terakhir seorang guru adalah keteladanannya. Pemimpin, sejatinya adalah orang yang konsisten memberikan keteladanan. Guru dan pemimpin, keduanya sangat inspiratif dan memengaruhi banyak orang karena punya integritas.
Guru adalah pemimpin, tapi tidak sebaliknya. Coba sebutkan, berapa banyak guru inspiratif yang hidup di sekolah-sekolah kita? Jika jumlahnya masih bisa dihitung jari, tak usah heran karena hari ini kita hidup di negeri nihil pemimpin. Wahai guruku, selamat berjuang menjadi guru pemimpin.