REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kementerian Agama RI berkomitmen untuk terus mengembangkan pondok pesantren di daerah-daerah perbatasan sebagai langkah strategis menjaga dan memelihara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Hingga tahun ini setidaknya sudah dibangun pondok pesantren di 12 lokasi yang berada di wilayah perbatasan pada beberapa provinsi, yakni Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua," kata Pelaksana Subdit Pendidikan Pesantren Kemenag Mohammad Zen di Jakarta, Kamis (25/9).
Ia menjelaskan tujuan pengembangan pondok pesantren tersebut adalah mengembangkan pusat pendidikan serta meningkatkan akses, pemerataan, mutu dan relevansi pelayanan pendidikan bagi warga di wilayah perbatasan, melalui model pendidikan pesantren yang terpadu dan terintegrasi dengan lingkungan alam wilayah perbatasan.
Pengembangan pondok pesantren itu dilaksanakan selaras dengan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan yang berorientasi kesejahteraan.
Ia menjelaskan pendekatannya dilakukan melalui pengembangan kegiatan ekonomi dan perdagangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
"Dengan demikian pondok pesantren juga akan berfungsi sebagai motor pertumbuhan bagi wilayah-wilayah di sekitar perbatasan, sehingga masyarakat setempat diharapkan tidak lagi tergiur oleh kemajuan negara tetangga," katanya.
Menurut Mohammad Zen, dalam kaitan itu pula Kemenag RI pada 24 sampai 26 September 2014 mengadakan loka karya peningkatan kualitas pendidikan keagamaan terpadu di wilayah perbatasan.
Loka karya dilaksanakan di Pontianak, Kalimantan Barat yang memiliki posisi strategis karena wilayahnya berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia.
Acara tersebut dihadiri 33 pejabat utusan Kemenag dari setiap provinsi serta utusan dari 12 pesantren di perbatasan dengan narasumber dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), serta dari Pondok Pesantren Agropolitan Nurul Maarif Sintang, Kalimantan Barat.
Dalam sambutan pembukaan loka karya yang juga dihadiri utusan dari Kemenag Pusat itu, Pelaksana Tugas Kakanwil Kemenag Kalbar Mustolih mengatakan pesantren di perbatasan memiliki empat tantangan utama, antara lain dampak globalisasi yang saat ini kian mengkhawatirkan.
"Warga di perbatasan lebih banyak memanfaatkan media dari luar negeri seperti televisi dari negara-negara tetangga, sehingga nasionalisme warga kemudian menjadi persoalan serius. Selain itu, WNI di perbatasan lebih senang menjadi kuli di negeri seberang karena bayarannya lebih besar," ujarnya.
Menurut Mustolih, tantangan kedua adalah masalah multikulturalisme karena adanya heterogenitas warga secara budaya. Pondok pesantren di daerah-daerah perbatasan dihadapkan pada masalah multikulturalisme yang kuat, sehingga para santri ditantang untuk mampu menyikapi pluralitas di daerah perbatasan dengan bijak.
Adapun tantangan ketiga adalah persoalan akidah. Globalisasi dalam batas-batas tertentu dapat mengurangi ketebalan akidah para santri. Oleh karena itu, santri perlu memahami kitab-kitab klasik yang dibacanya dalam konteks kekinian.
"Sedangkan tantangan keempat, para kiai dan santri di daerah-daerah perbatasan harus memiliki komitmen sosial yang kuat, karena kondisi di perbatasan masih banyak yang memprihatinkan. Jika komitmennya tidak kuat maka pondok pesantren di perbatasan mungkin akan ditinggalkan orang," katanya.
Ia mengatakan beberapa pondok pesantren perbatasan yang sudah berperan aktif sesuai kiprahnya, antara lain Pondok Pesantren Mutiara Bangsa di Sebatik, Kalimantan Utara dan di Pulau Parit, Kepulauan Riau, serta Pondok Pesantren Agropolitan Nurul Maarif di Sintang, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia.
Di daerah perbatasan di wilayah Papua juga sudah lama berdiri Pondok Pesantren An-Naja Yamra di Merauke yang berbatasan dengan PNG, sedangkan di Nusa Tenggara Timur sudah dibangun pondok pesantren di Atambua yang berbatasan dengan Timor Leste.