REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Andri Saubani
“Saya telah berkelana begitu jauh,” kata Hiroshi Kagawa, dikutip laman resmi FIFA, di sela-sela peliputannya di Piala Dunia 2014 di Brasil, belum lama ini. Kagawa kini telah berusia 89 tahun, menjadi wartawan tertua peliput Piala Dunia. “Saat itu final Piala Dunia 1974 di Stadion Olympia Muenchen, sangat nyata di ingatan saya. Johan Cruyff berkaos oranye dan Franz Beckenbauer berkostum putih. Saya sangat bersyukur.”
Piala Dunia 1974 memang menjadi turnamen akbar pertama sepak bola yang diliput Kagawa. Di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Kagawa sempat absen akibat kondisi kesehatannya yang sedang payah. Namun, di Brasil, Kagawa kembali untuk meliput Piala Dunianya yang kesepuluh.
Staf FIFA mewawancarinya di tengah kesibukan ruang media di Arena Pernambuco, belum lama ini. Kagawa masih kalem sesuai dengan pembawaan yang tenang, saat wartawan lainnya berkejaran dengan deadline atau berteriak-teriak dengan ponsel mereka. Di lain waktu, wartawan-wartawan asal Jepang lain yang lebih muda membawakan segelas air atau datang kepadanya untuk sekadar membungkukkan badan tanda penghormatan.
Lahir di Kobe pada 1924, perhatian Kagawa terhadap sepak bola sempat teralihkan saat dirinya dipanggil mengikuti wajib militer pada 1944 pada tahun-tahun jelang berakhirnya masa Perang Dunia II. Di militer, Kagawa dilatih untuk menjadi pilot Kamikaze. “Namun saya sangat beruntung sekarang. Bertemu orang dari asal yang berbeda di seluruh dunia, dan itu membantu saya berpikir dunia sebagai tempat yang besar,” ujarnya.
Usai tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sepak bola kembali digandrunginya. Sempat menjadi pesepak bola amatir, Kagawa akhirnya memilih jurnalisme sebagai jalur untuk tetap bisa dekat dengan olah raga kegemarannya itu. Artikel pertamanya dimuat oleh harian sore Kyoto, hasil reportase laga klub Swedia, Helsingborg yang bertandang ke Negeri Sakura pada 1951.
“Saya saat itu ingin Jepang bergabung dengan tim-tim top di dunia dan menjadi bagian dari komunitas sepak bola yang lebih besar,” kata Kagawa. Namun, keinginannya saat itu urung terwujud lantaran era setelah Perang Dunia II, Jepang terobsesi oleh baseball, olahraga impor dari Amerika Serikat. “Sepak bola sangat tidak populer, kalah dengan baseball bahkan rugby,” kenangnya.
Setelah menjadi penulis lepas di harian sore Kyoto, Kagawa kemudian bekerja untuk koran Sankei Shimbun di Osaka sebelum akhirnya menjadi editor tetap di Sankei Sports. Dia kemudian berkelana, mulai dari Asia dan negara-negara lainnya, menulis sepak bola.
Saat tiba di Jerman Barat pada 1974, Kagawa yakin itu adalah titik puncak sekaligus awal inspirasi dari perjalanan berikutnya. Kagawa duduk di bagian tribun belakang gawang di Stadion Olympia, Muenchen, menjadi saksi sebuah perubahan dalam sejarah sepak bola. “Laga itu sebagai tanda kelahiran dari sepak bola modern,” ia mengenang.
Tulisan pertama Piala Dunia 1974 yang dikirimnya ke Jepang untuk dimuat majalah A World Cup Journey adalah laga final Belanda kontra Jerman Barat. “Berti Vogts adalah seorang yang baik,” demikian kalimat pembuka tulisan Kagawa yang bercerita soal seorang bek tangguh yang menempel ketat pemain terbaik saat itu, Johan Cruyff sepanjang laga.
Sejak Piala Dunia 1974, Kagawa melihat sepak bola tumbuh berkembang di negerinya. Jepang pun mulai mencetak bintang dimulai dari Kazu Miura yang pada awal 1990an berhasil menembus liga-liga top di Eropa termasuk Serie A. Ia pun menjadi saksi peliput keberhasilan Jepang untuk pertama kalinya lolos ke putaran final Piala Dunia 1998. “Kebanggaan yang saya rasakan saat itu lebih besar dari yang bisa Anda bayangkan,” katanya.
Wawancara Kagawa dengan FIFA terhenti sejenak saat ruang media tiba-tiba geger oleh teriakan para wartawan lainnya. Kagawa pun berdiri mengamati televisi layar lebar yang ada di depannya, mengetahui Inggris berhasil menyamakan kedudukan melawan Italia dalam laga pembuka di Manaus. “Mungkin wawancara ini dilanjutkan nanti saja,” kata Kagawa, sambil tersenyum dan memilih melanjutkan menonton pertandingan.