REPUBLIKA.CO.ID, SAO PAULO -- Kendati Jerman adalah tanah kelahirannya, Hitzfeld selalu menganggap Swiss dekat dengan hatinya.
Dia menghabiskan sebagian besar karir bermainnya di Swiss bersama Basel, Lugano dan Luzern, bahkan di Swiss pula dia mengawali karir kepelatihannya, di Zug dan lalu Aarau, sebelum mencuatkan namanya melalui Grasshoppers yang membuatnya dilirik Borussia Dortmund yang membuat klub itu merebut dua kali juara liga dan Liga Champions.
Kemudian dia direkrut raksasa Jerman Bayern Munchen pada 1998 dan selama enam tahun dia mempersembahkan empat gelar juara dan juara Liga Champions.
Dia absen selama tiga tahun sebelum kembali Bayern untuk mempersembahkan juara Bundesliga. Namun setelah itu dia mundur untuk menukangi tim nasional Swiss.
Di situ dia merancang kemenangan mengejutkan 1-0 atas Spanyol pada Piala Dunia 2010 yang kemudian dijuarai Spanyol, sedangkan Swiss akhirnya tersisih di fase grup.
Bersama tim yang diperkuat gelandan Bayern Munchen Xherdan Shaqiri dan trio gelandang Napoli Gokhan Inler, Valon Behrami dan Blerim Dzemaili, Swiss tidak terkalahkan selama laga pra piala Dunia 2014.
Di Brasil, kemenangan atas Ekuador dan Honduras sudah cukup mengantarkan Swiss ke 16 Besar, meski sempat digulung 2-5 oleh Prancis.
Lalu melawan Argentina di 16 Besar, sebuah gol Angel Di Maria pada dua menit sebelum adu penalti membuat Hitzfeld tak mampu mengantarkan Swiss kee perempat final pertamanya sejak 1954.
Bagi Hitzfeld, situasi itu mirip dengan final Liga Champions 1999 ketika timnya Bayern Munchen nyaris menjadi juara sebelum Manchester United mencetak dua gol pada menit-menit terakhir.
"Ini semua adalah emosi yang hanya Anda dapatkan dari sepak bola, itulah mengapa saya cinta sepak bola," kata dia seperti dikutip AFP.