REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menilai, pemerintah perlu meningkatkan produktivitas sektor peternakan sapi untuk mengurangi jarak industri peternakan dengan peternakan rakyat. Sebab, bea masuk nol persen atas kerja sama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Agreement (IA-CEPA) dinilai akan menambah beban daya saing ternak lokal.
“Di Australia mereka punya farm industri sapi yang sudah kuat, di kita (Indonesia) kan masih menagndalkan peternakan rakyat yang sapinya hanya satu dan dua per peternak,” kata Ketua PPSKI Teguh Boediyana saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (5/3).
Belum lagi dengan impor daging kerbau dari India yang memiliki harga sangat murah, kata dia, peternak lokal seperti mendapat dua tantangan perdagangan yang berat apabila pemerintah tak segera memperkecil jarak antara industri dan peternak.
Secara nasional, impor daging sapi dan kerbau Indonesia rata-rata mencapai 250 ribu ton per tahun dalam bentuk beku maupun non beku. Jumlah tersebut, kata dia, merupakan jumlah yang cukup besar sehingga menyulitkan peternak lokal untuk dapat berdaya saing dari sisi harga.
“Peternak lokal tidak bisa menjual murah karena memang biaya produksi ternak mereka cukup mahal, peternak masih beternak dengan sangat tradisional seperti ngarit sehingga belum efisien,” katanya.
Untuk itu pihaknya mendorong pemerintah Indonesia untuk serius membenahi sektor peternakan sapi baik di dalam industri daging, sapi bakalan (penggemukan), maupun sektor produksi susu perah. Di sektor susu perah misalnya, kata dia, pemerintah dapat memanfaatkan bea tarif nol persen untuk mendatangkan sapi perah ke dalam negeri untuk diolah secara komprehensif.
Sementara itu Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni Liano menilai, penekanan kerja sama IA-CEPA berpotensi menumbuhkan produktivitas nilai tambah di sektor sapi bakalan. Sebab, dia menilai, dengan masuknya sapi impor bakalan dengan bea tarif nol persen, pengusaha akan mendapat keringanan daya beli yang akan berimbas pada menurunnya harga produksi penggemukan sapi.
Menurutnya, nilai tambah penggemukan sapi bisa saja menguntungkan dengan melihat dari berbagai aspek antara lain penyerapan tenaga kerja, nilai jual tulang, daging, hingga darah sapi yang semakin murah. “Ya makanya lebih baik diarahkannya ke penggemukan itu tadi, sangat bagus saya rasa,” kata Joni.
Menurutnya, dengan peningkatan produktivitas penggemukan sapi, secara tidak langsung Indonesia dapaat meningkatkan efisiensi dari segi biaya yang dimungkinkan bisa menggenjot kapasitas ekspor sapi Indonesia.
Dia pun berpendapat, kesepakatan IA-CEPA yang diteken pemerintah pasti sudah mengkalkulasikan beberapa keuntungan yang akan didapat kepada kalangan usaha. Dia optimistis sektor usaha sapi bakalan akan semakin produktif seiring dengan adanya bea masuk nol persen dari Australia.
Seperti diketahui, sejauh ini Indonesia masih bergantung pada Australia dalam pasokan daging sapi untuk kebutuhan lokal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2017 saja Indonesia telah mengimpor daging sapi sekitar 160 ribu ton, sebesar 53 persennya merupakan daging sapi impor asal Australia.
Data BPS mencatat, impor dilakukan karena kebutuhan daging sapi nasional mencapai 784 ribu ton sementara peternak sapi lokal hanya mampu menghasilkan 532 ribu ton daging sapi per tahunnya.