REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa Ramadhan merupakan salah satu Rukun Islam. Dalam perspektif fikih, puasa berarti menahan diri dari berbagai hal yang dapat membatalkan ibadah tersebut. Durasinya mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Hal ini merujuk pada surah al-Baqarah ayat 187. Terjemahannya, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."
Mengenai siapa saja yang wajib berpuasa Ramadhan, ketentuannya juga berdasarkan Alquran dan Sunnah. Adapun syarat umumnya adalah orang yang beragama Islam, berakal, baligh (cukup usia), dan mengetahui wajibnya puasa. Lebih spesifik lagi ialah syarat-syarat khusus sebagai berikut: sehat, tidak dalam keadaan musafir yang memungkinkan kemudahan dan dispensasi.
Surah al-Baqarah ayat 185 memang menegaskan bolehnya penangguhan puasa bagi mereka yang sakit dan musafir. Artinya, "Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain."
Bagi kaum hawa, syaratnya dijabarkan lebih lanjut. Untuk dikenakan wajib puasa Ramadhan, seorang Muslimah mesti suci dari haid dan nifas.
Bila segenap persyaratan itu dipenuhi, maka selanjutnya adalah syarat sah puasa. Hal itu terdiri atas berniat dan suci dari haid serta nifas.
Perihal Niat Puasa
Prof Nasaruddin Umar dalam ulasannya di Dialog Jumat Republika menuturkan soal niat puasa Ramadhan. Dia memaparkan, ada berbagai pendapat di kalangan ulama.
Imam Syafi'i mensyaratkan niat dilakukan pada malam hari, yakni harus bermalam, dan dilakukan setiap malam. Mazhab Syafi'i mayoritas diikuti kaum Muslimin di Asia Tenggara, Mesir, sebagian India dan Pakistan.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat, cukup berniat berpuasa sebulan penuh di malam pertama Ramadhan.
Nasaruddin Umar juga menjelaskan soal apakah niat itu dilafazkan atau cukup dalam hati. Umumnya keempat mazhab--Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal--mensyaratkan dilafazkan.
Adapun menurut Ibnu Taimiyah, niat itu tidak mesti dilafazkan. Baginya, niat bisa dilakukan dalam hati.