REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ibadah puasa Ramadhan termasuk satu dari lima rukun Islam. Karena itu, setiap Muslim wajib melaksanakan ritual yang satu ini untuk menyempurnakan keislamannya. Pertanyaannya, seperti apakah sesungguhnya praktik puasa Ramadhan yang dijalankan kaum Muslim pada zaman Rasulullah SAW?
Perintah Allah SWT tentang puasa Ramadhan berupa QS al-Baqarah ayat 183 turun pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijrah. "Turunnya perintah puasa ini sekaligus menjadikan Ramadhan sebagai satu-satunya bulan yang disebutkan dalam Alquran," kata akademikus asal Azerbaijan, Profesor Rafig Y Aliyev, dalam buku Loud Thoughts on Religion: A Version of the System Study of Religion. Useful Lessons for Everybody.
Pada awalnya, kaum Muslim diwajibkan berpuasa Ramadhan sampai waktu Magrib. Setelah berbuka, mereka masih diperbolehkan makan, minum, melakukan berhubungan suami-istri, hingga kemudian menunaikan shalat Isya dan tidur. Setelah shalat Isya, mereka tidak diperbolehkan lagi melakukan semua kegiatan tersebut sampai tiba lagi waktu berbuka keesokan harinya.
Praktik puasa semacam itu ternyata benar-benar memberatkan umat Islam sehingga banyak di antara mereka yang melanggar aturan tersebut. Kondisi itu kemudian menjadi sebab turunnya ayat yang membolehkan kaum Muslimin untuk makan, minum, dan berhubungan suami-istri dari berbuka hingga sebelum terbitnya fajar selama bulan Ramadhan.
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar," (QS: al-Baqarah [2]:187).
Puasa Ramadhan yang diamalkan kaum Muslimin berbeda bentuk dan tata caranya dari puasa yang dilakukan umat-umat terdahulu. Sejarah mencatat, setidaknya ada empat model puasa yang dijalankan orang-orang sebelum datangnya Islam. Ada yang berpuasa dengan cara meninggalkan makan, minum, dan tidak bersetubuh saja. Ada pula yang berpuasa cukup dengan tidak berkata-kata saja.
Puasa dengan cara tidak berkata-kata atau berbicara kepada manusia pernah dilakukan oleh ibunda Nabi Isa AS, Siti Maryam, ketika kaumnya mempertanyakan soal kelahiran putranya yang tanpa ayah. "Aku tidak akan berkata-kata dengan seorang manusia pun pada hari ini," (QS Maryam [19]: 26).
Terlepas dari berbagai bentuk puasa yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum era Islam, prinsip ibadah tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk melatih diri manusia dari berbagai kenikmatan jasmaniah dan nafsu biologis. Orang-orang terdahulu juga berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya meskipun waktu dan cara-cara pelaksanaannya berbeda satu sama lain.
Yusuf Burhanuddin dalam buku Misteri Bulan Ramadhan menjelaskan, puasa dalam ajaran Islam benar-benar disesuaikan dengan fitrah manusia. Itu disebabkan yang menjadi tujuan puasa bukanlah kepedihan, penderitaan, atau untuk menyiksa diri. "Melainkan, mendidik para pelakunya agar mampu mengendalikan nafsu syahwat perut dan kelamin," tulisnya.
Meskipun puasa Ramadhan mencakup semua model puasa yang pernah ada dalam ajaran umat-umat terdahulu, ia tetap disesuaikan dengan memperhatikan fitrah kemanusiaan. Tidak terlalu ketat hingga memberatkan, tapi juga tidak terlalu longgar hingga mengabaikan aspek pembinaan spiritual para pelakunya.
Semua aspek yang diterapkan dalam ibadah puasa Ramadhan benar-benar memperhatikan kemampuan dan kadar kemampuan manusia dalam menahan rasa lapar dan dahaga. "Apabila, ada halangan seperti karena sakit atau dalam perjalanan, Allah SWT membolehkan hamba-Nya untuk berbuka dan mengganti puasa di hari lain," ujar Burhanuddin lagi