REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kinerja industri manufaktur dinilai semakin produktif dan kompetitif. Capaian positif ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada kuartal pertama 2019 naik 4,45 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jumlah tersebut juga lebih tinggi dari sepanjang 2018 yang hanya 4,07 persen. Di sisi lain, geliat industri manufaktur Indonesia juga terlihat dari capaian purchasing manager index (PMI) yang dirilis oleh Nikkei.
"Kalau kita lihat kondisi industri saat ini berdasarkan PMI, tingkat kepercayaan dari pelaku industri cukup tinggi. PMI indeks kita selalu di atas 50, kecuali bulan Januari. Karena saat Januari kontrak baru dikasih,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya, belum lama ini.
PMI manufaktur Indonesia pada April 2019 berada di angka 50,4. Peringkat di atas 50 menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif. "Ini juga menandakan mereka melihat iklim usaha di Indonesia tetap kondusif dan telah mampu mengelola ekonomi melalui norma baru,” ujar Airlangga.
Nikkei melaporkan, pada periode April 2019, ekspor naik untuk pertama kalinya dalam kurun waktu hampir satu setengah tahun, kemudian jumlah tenaga kerja juga terus naik. Selanjutnya, sentimen bisnis masih bertahan positif. Dan, dari segi harga, tekanan biaya berkurang.
Saat ini, industri manufaktur mampu memberikan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 20 persen. Airlangga menyebutkan, dari capaian 20 persen tersebut, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara G-20.
Posisi Indonesia berada setelah Cina dengan sumbangsih industri manufakturnya mencapai 29,3 persen. Kemudian, disusul Korea Selatan (27,6 persen), Jepang (21 persen), dan Jerman (20,7 persen). Adapun rata-rata kontribusi manufaktur dunia saat ini sekitar 15,6 persen.
Direktur PT Grand Kartech Tbk (KRAH) Johanes Budi Kartika mengamini pertumbuhan industri manufaktur terus tumbuh. Meski demikian, masih dibutuhkan keberpihakan lebih dari pemerintah melalui kebijakan yang mendukung industri manufaktur dalam negeri.
"Industri manufaktur disebut sebagai tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi. Tentunya dukungan iklim usaha yang kondusif menjadi prioritasnya,” katanya dalam keterangan tertulisnya.
Budi mengatakan, saat ini KRAH semakin bersemangat untuk menyasar dan mengembangkan pasar baru. "Pertumbuhan ini membuat kami optimis terhadap industri manufaktur,” ujarnya.