REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman dahulu, wilayah Jazirah Arabia dikenal sebagai pusat perdagangan. Mulai dari kebutuhan rumah tangga hingga lainnya. Termasuk di antaranya penjualan budak atau hamba sahaya. Kala itu, budak dijadikan sebagai barang dagangan.
Bila majikannya senang maka dia akan diberikan fasilitas enak dan harganya pasti mahal. Namun, bila majikannya tidak senang, dia akan dijual kepada orang lain dengan harga yang sangat murah.
Suatu ketika, seorang bangsawan datang ke sebuah pasar dan bermaksud membeli seorang budak. Dia pun memilih budak yang dianggapnya cocok dan mempunyai fisik kuat.
Ketika pilihan sudah ditetapkan, si budak ini memberanikan diri berbicara kepada calon majikannya. Dia meminta supaya dirinya diperlakukan dengan baik. “Wahai tuanku, sesungguhnya aku ingin membuat perjanjian denganmu, sebelum tuan membawaku,” ujar budak tersebut.
“Katakanlah, apa keinginanmu,” jawab laki-laki calon tuan budak itu.
“Pertama, Tuan jangan menghalangiku menunaikan shalat fardhu apabila telah datang waktunya. Kedua, Tuan boleh memerintahku sekehendak hati Tuan pada siang hari, tapi tidak boleh memerintahkanku pada waktu malam. Ketiga, Tuan menyediakan sebuah tempat khusus untukku di rumah tuan dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh memasukinya,” kata si budak ini.
“Baik, aku menyetujuinya,” jawab si laki-laki tersebut.
Sesampainya di rumah si majikan, si budak ini dipersilakan memilih ruangan yang dia inginkan. “Lihatlah kamar-kamar itu dan silakan pilih untukmu,” ujar laki-laki yang telah menjadi tuannya itu.
Maka, si budak kemudian berkeliling dan menemukan sebuah ruangan yang tidak terawat dan dalam keadaaan rusak parah. “Saya memilih kamar yang ini saja,” katanya.
Tuannya pun kaget dengan pilihan si budak tersebut. “Mengapa engkau memilih ruangan yang tak terawat dan kotor ini?” tanyanya.
“Tidak mengapa Tuan, saya rela menempati tempat tersebut,” jawabnya.
Maka sejak saat itu, resmilah si budak ini tinggal bersama tuannya. Sesuai dengan perjanjian, si budak akan taat mematuhi perintah tuannya pada siang hari dan di malam harinya ia gunakan untuk beribadah kepada Allah.
Setelah sekian lama berjalan, suatu malam si empunya rumah berkeliling di sekitar rumah hingga ia melewati kamar si budak. Alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan di kamar tersebut penuh dengan cahaya. Selain itu, ia melihat si budak tengah bersujud kepada Allah.
“Wahai Tuhanku, Engkau wajibkan di atas pundakku ini hak tuanku dan aku melayaninya pada siang hari. Seandainya tidak ada kewajiban itu, tentu aku akan menggunakan waktu malam dan siangku untuk mengabdi ke hadirat-Mu. Maka, sekarang terimalah alasanku itu sebagai uzur bagi hamba,” doa si hamba, yang lamat-lamat terdengar di telinga majikannya.
Usai mendengar doa budak tersebut, si majikan pergi ke kamarnya sendiri. Di kamar, ia menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya kepada istrinya. Keesokan malamnya, ia bersama istrinya kembali menuju ruangan si hamba sahaya. Keduanya kembali mendapati ruangan si hamba ini penuh dengan cahaya yang bersinar terang.
Pada pagi hari, dipanggillah si hamba sahaya ini. “Mulai sekarang, kamu telah bebas dan merdeka karena Allah. Engkau dapat beribadah kepada Allah sekehendakmu,” ujar majikannya.
Si budak itu pun lantas menengadahkan wajah ke langit seraya mengucapkan syukur dan berdoa. “Wahai Pemilik Rahasia, sesungguhnya rahasia ini benar-benar telah tersingkap. Aku tidak menghendaki hidupku setelah rahasia ini terungkap,” katanya.
Kemudian, dia berkata lagi. “Ya Allah, aku memohon kematian,” ujarnya. Budak tersebut kemudian roboh dan akhirnya meninggal dunia. Demikianlah kisah yang dikutip dari kitab Karamatul Auliya an-Nabhani. Hamba sahaya ini menggambarkan keadaan orang-orang yang saleh dan senantiasa merindukan Allah. Mereka tidak takut kepada siapa pun. Yang mereka takut dan khawatirkan hanyalah Allah.