REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi harga garam di tingkat petambak tradisional makin memburuk dan membuat menjerit. Harga terendah dialami oleh para petambak di sentra Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat yang tembus hingga Rp 150 per kilogram (kg).
Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Waji Fatah Fadhilah, mengatakan, belum ada tanda-tanda perbaikan harga garam. Alasannya belum adanya langkah strategis dari pemerintah mengatasi masalah garam.
"Sekarang tambah hancur. Garam petambak hanya Rp 250 untuk kualitas I, Rp 200 kualitas II, dan Rp 150 kualitas III. Harga garam harus dirujuk dengan peraturan pemerintah," kata Waji saat dihubungi Republika.co.id. Jumat (2/8).
Waji yang memiliki tambak garam di kawasan Indramayu, menuturkan, secara produksi tidak berbeda jauh dengan tahun lalu. Sementara, kualitas garam juga tidak mengalami penurunan. Namun, lantaran garam milik petambak harus diolah terlebih dahulu oleh perusahaan pengolahan garam, harga kian ditekan dan petambak menjadi pihak paling merugi.
Kondisi itu, menurut dia, karena belum ada regulasi yang mengatur tentang harga garam. Alhasil, petambak tidak punya daya tawar untuk mempertahankan harga yang layak. Waji pun menyesalkan sikap pemerintah yang lambat dan cenderung acuh kepada nasib petambak.
"Tahun 1990-an harga garam rakyat itu Rp 150. Sekarang 2019, masak harga kembali sama seperti 20 tahun yang lalu? Kemana pemerintah?" kata dia.
PPGI mendesak pemerintah untuk segera merancang harga acuan garam agar harga tak lagi terjun bebas seperti sekarang. Dari tahun ke tahun, masalah harga terus menjadi momok tanpa solusi konkret.
Di satu sisi, Waji menyebut perlu adanya perbaikan rantai pasok garam dari hulu ke hilir. Ia mengakui, garam rakyat tetap membutuhkan sentuhan olahan dari pabrik dan saat ini mekanisme tersebut sudah berjalan.
Hanya saja, tegas Waji, proses penyerapan dan skema penetapan harga tidak terarah sehingga tata niaga garam amat buruk.