Senin 09 Sep 2019 09:24 WIB

Ekspor Produk Halal Terbelit Regulasi

Kebijakan perdagangan Indonesia berbelit dan defensif.

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. (ilustrasi)
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) meminta agar pemerintah menderegulasi aturan yang ada agar tak berbelit dan dapat membuka daya saing produksi lokal bila ingin mendorong ekspor ke Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Regulasi yang tepat juga dinilai penting dalam merespons peluang dagang.

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Umum Gapmmi Rahmat Hidayat menyampaikan, Gapmmi mengapresiasi upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekspor produk halal. Hanya saja, setiap produk yang berorientasi ekspor harus dilandasi kekuatan bahan baku yang kompetitif dan berdaya saing. Salah satu faktor pendukungnya adalah kebijakan yang akurat.

Baca Juga

"Kita ini overregulasi sehingga kebijakan yang dihasilkan itu sulit memberi ruang bagi pengusaha untuk menghasilkan produk yang berdaya saing," kata Rahmat saat dihubungi Republika, Ahad (8/9).

Dia mencontohkan, jika kebijakan yang diterapkan pemerintah akurat, maka aspek bahan baku diimpor, aspek produksi, hingga ongkos logistik produk sudah dapat dipastikan kompetitif. Nyatanya, produk halal Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara lainnya karena belum kompetitif.

Menurut Rahmat, pemerintah perlu mengatur kebijakan yang memberi ruang bagi pelaku usaha untuk berdaya saing. Misalnya, kebijakan yang dihasilkan dapat menekan biaya impor bahan baku yang masih tinggi sehingga dapat menurunkan biaya produksi.

"Industri sampai saat ini kesulitannya adalah bahan baku. Kami ingin ekspor produk halal, tapi kalau ketersediaan bahan bakunya minim atau tidak kompetitif, maka percuma," ujar Rahmat.

Dia juga meminta pemerintah memperhatikan betul setiap kebijakan dan regulasi yang dihasilkan agar mampu menyerap peluang investasi masuk. Regulasi yang tak berbelit harusnya lebih ditingkatkan agar investasi dapat memicu daya saing industri.

"Buktinya banyak kan. Kenapa kok keluar dari Cina kok (investasi) larinya ke Vietnam, Thailand, bahkan Kamboja? Kenapa tidak ke Indonesia (investasinya)? Karena kita belum berdaya saing," kata Rahmat.

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indonesia belum mampu memanfaatkan secara maksimal faktor ideologis untuk menjalin kerja sama dagang dengan sesama negara anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI). Tercatat, Indonesia membukukan defisit dalam neraca perdagangan 2018 dengan OKI sebesar 1,87 miliar dolar AS.

Defisit salah satunya disumbang dengan melempemnya capaian ekspor sebesar 45 miliar dolar AS atau 12,5 persen dari total perdagangan nasional sebesar 369 miliar dolar AS. Laporan State of Global Islamic Economy 2018/2019 mencatat, neraca perdagangan OKI untuk produk halal sendiri masih defisit. Ekspor dari OKI sebesar 210,5 miliar dolar AS, sementara impornya mencapai 271,8 miliar dolar AS.

Ekspor OKI untuk produk pangan ekspornya 124,8 miliar dolar AS dan impor sebesar 191,5 miliar dolar AS pada 2017. Di periode yang sama, untuk pakaian, nilai ekspor dari negara-negara anggota OKI sebesar 74,7 miliar dolar AS dan impor 1,1 miliar dolar AS.

Untuk media dan rekreasi, OKI mengekspor senilai 2,8 miliar dolar AS dan impor 5,8 miliar dolar AS. Ekspor OKI pada produk obat dan farmasi sebesar 4,3 miliar dolar AS dan impor 26,1 miliar dolar AS. Ekspor kosmetik sebesar 4,1 miliar dolar AS dan impornya sebesar 9,8 miliar dolar AS.

Bersadarkan peringkat dalam laporan SGIE itu pula, di sektor riil, Indonesia masih masuk dalam 10 besar konsumen produk halal. Hanya saja, Indonesia belum menjadi produsen produk halal dengan peran yang signifikan.

Pengamat perdagangan internasional dari FEB Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menyayangkan belum mampunya Indonesia memanfaatkan peluang ekspor ke OKI. Di sisi lain, ekspor produk halal Malaysia menggeliat dengan menjalankan dua strategi agresif dalam perdagangan.

photo
Logo halal. (ilustrasi)

Pemerintah Malaysia kerap bergerak cepat dalam merespons perdagangan internasional dengan mengambil kebijakan yang tepat dan responsif. Sedangkan, Pemerintah Indonesia cenderung berbelit dan defensif serta kurang terkoneksi antara satu dengan kementerian teknis terkait.

Fithra mencontohkan Kementerian Luar Negeri. Ketika melakukan kerja sama dan diplomasi ke suatu negara, muatan data dan langkah ekonominya kurang lengkap. "Sehingga harus kembali dulu dan merundingkan ulang dengan kementerian terkait, ini jadi lama sekali mengambil keputusannya," kata Fithra, akhir pekan lalu.

Fithra mengimbau pemerintah perlu mempertimbangkan peleburan antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ke depan guna meningkatkan efektivitas pengambilan kebijakan. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempercepat kesepakatan kerja sama di luar ikatan OKI.

Ia menilai OKI sangat lemah secara fungsional karena masih beranggotakan negara-negara berkembang. Infrastruktur perdagangan di setiap negara pun masih belum merata. Untuk itu, kata Fithra, pemerintah perlu menciptakan sub-kerja sama yang paling memungkinkan di luar OKI untuk mengakselerasi ekspor dan menurunkan tarif masuk produk.

"Kalau di negara-negara maju kan infrastruktur perdagangannya sudah lengkap. Sedangkan, di OKI, tantangannya adalah belum berkembang infrastrukturnya," kata Fithra.

Hal tersebut, menurut Fithra, membuat catatan ekspor perdagangan produk Indonesia tak stabil. Padahal, salah satu elemen penting dalam stabilitas neraca perdagangan adalah kekuatan ekspor. N imas damayanti ed: fuji pratiwi

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement