Jumat 04 Oct 2019 21:55 WIB

Stok Bulog Dinilai Belum Mampu Tahan Kenaikan Beras

Kenaikan harga beras ini terjadi karena kebutuhan konsumsi lebih besar dari produksi

Seorang calon pembeli membandingkan dua kualitas beras yang dijual di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Seorang calon pembeli membandingkan dua kualitas beras yang dijual di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (20/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai stok milik Perum Bulog belum mampu menahan pergerakan harga beras yang mulai mengalami kenaikan. Rusli mengatakan kenaikan harga beras saat ini terjadi di berbagai daerah karena kebutuhan konsumsi tiap bulan 2,5 juta ton hanya mampu dipenuhi oleh produksi 1,5 juta ton.

Kondisi ini menjadikan beras sebagai komoditas penyumbang inflasi sebesar 0,12 persen pada September 2019, padahal sebagian besar kelompok bahan makanan di periode ini mengalami penurunan harga dan memberikan kontribusi kepada deflasi."Ada gap antara supply and demand (permintaan dan penawaran)," kata Rusli.

Baca Juga

Ia memperkirakan kondisi kenaikan harga beras ini akan terus berlanjut hingga Desember 2019 karena produksi beras mulai terbatas serta tidak adanya masa panen hingga akhir tahun. Rusli juga menilai stok Bulog hanya mampu mencukupi kebutuhan hingga November 2019, dalam mengatasi fenomena yang juga disebabkan oleh musim kemarau panjang ini.

Oleh karena itu, ia mengharapkan adanya manajemen stok beras yang lebih memadai, agar kenaikan harga beras jelang akhir tahun tidak selalu menimbulkan keresahan bagi masyarakat.

"Harus ada stok beras yang cukup untuk kebutuhan sampai masa panen tiba," katanya.

Sementara itu, pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menambahkan defisit produksi beras yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga di pasaran merupakan fenomena berulang setiap tahunnya.

Hal ini terjadi karena petani umumnya menunggu musim penghujan untuk mulai menanam. Selain itu, situasi ini juga diperparah oleh mundurnya musim tanam kedua akibat pergeseran musim pada 2019.

"Mulai September itu biasanya sudah minus. Dalam arti yang dipanen dengan konsumsi bulanan lebih besar konsumsi bulanan," kata Dwi Andreas.

Pada 2018, defisit produksi beras sebenarnya baru terjadi pada Oktober. Pasalnya, produksi beras pada September, waktu itu, masih mencapai 2,78 juta ton dengan konsumsi sebanyak 2,43 juta ton.

Dwi Andreas mengharapkan pemerintah mencermati pola ini dan menyiagakan stok beras dalam beberapa bulan kedepan, karena produksi 2019 diperkirakan lebih rendah dari 2018 dan masa paceklik selesai pada Maret 2020.

"Penurunannya kira-kira setara dengan dua juta ton beras dibandingkan 2018, jadi harus diselamatkan sampai paling tidak Februari. Maret mungkin sebagian sudah panen, tapi tidak bisa langsung ke konsumen," ujarnya.

Namun, ia menilai stok Bulog telah mencukupi untuk saat ini, meski penghitungan secara cermat penting dilakukan agar kebutuhan masyarakat terhadap bahan pangan pokok tetap terpenuhi.

"Stok Bulog masih kelewat tinggi, masih 2,3 juta ton. Tapi pemerintah betul-betul harus menghitung cermat, stok sesungguhnya itu berapa. Dan apakah perlu tindakan tertentu terkait dengan cadangan beras," ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya deflasi pada September 2019 sebesar 0,27 persen yang dipengaruhi oleh penurunan harga bahan makanan.

Komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain cabai merah, bawang merah, daging ayam ras, tomat sayur, cabai rawit, telur ayam ras dan ikan segar.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement