REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Target pengadaan beras Bulog sebanyak 1,8 juta ton pada tahun 2019 dinilai tidak realistis. Sebab, penyaluran beras oleh Bulog pada tahun ini cukup sulit lantaran perusahaan tak lagi memiliki kewajiban dalam menyaluran beras Keluarga Sejahtera sejak Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) diterapkan.
Hingga 10 Oktober 2018, realisasi pengadaan beras lewat penyerapan gabah dan beras dari petani baru mencapai 1,072 juta ton atau sekitar 60 persen dari target.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan, penyebab utama rendahnya realisasi selain karena menipisnya stok gabah di petani juga dampak dari BPNT. Di bagian hulu, Bulog tetap diwajibkan melakukan pengadaan beras dalam jumlah besar. Tetapi di hilir, Bulog dipersulit dengan BPNT.
Padahal, selama ini sebagian besar sumber daya Bulog difokuskan untuk mengurusi penyaluran Beras Miskin atau Beras Sejahtera. Ketika sistem diubah, tidak mudah bagi Bulog untuk langsung menyesuaikan diri. Dari penyaluran Raskin atau Rastra yang rata-rata 3 juta per tahun, menyusut menjadi sekitar 300 ribu ton pada tahun ini. Sementara, bisnis beras komersial yang dijalankan Bulog dengan menggunakan uang perusahaan tidak begitu besar dan baru saja dimulai.
Sejak jauh hari, Khudori pun telah memprediksi bahwa kebijakan BPNT yang menerapkan pasar bebas bagi para Keluarga Penerima Manfaat dalam memilih beras berdampak besar bagi Bulog.
"Sejak awal saya saya tidak terlalu yakin dengan target pengadaan 1,8 juta ton akan terpenuhi. Kalaupun bisa diserap sesuai target, untuk apa? penyaluran saja sulit. Jadi ya realistis saja," kata Khudori kepada Republika.co.id, Jumat (11/10).