REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 tumbuh lebih lambat, yakni sebesar 4,9 persen. Sebelumnya pada pertumbuhan ekonomi kuartal II 2019 mencapai 5,05 persen.
"Secara kuartal, pertumbuhan tersebut di bawah lima persen sejak 2015," ujar Kepala Kajian Makro LPEM UI Febrio Nathan Kacaribu dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, (4/11).
Menurutnya, permasalahan ekonomi pada kuartal III mirip seperti dua kuartal sebelumnya, yaitu terkait melemahnya harga komoditas, akibatnya ekspor tumbuh negatif. Seperti diketahui, ekspor utama Indonesia yakni kelapa sawit dan batu bara. Sementara sejak 2013, harga kedua komoditas itu sangat rendah. Kelapa sawit misalnya, hanya sekitar 470 dolar AS per ton, sebelumnya pada 2011 sempat menembus 1.200 dolar AS per ton.
Kondisi perekonomian global pun masih lambat. Ini terjadi seiring berlanjutnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Cina.
"Kurang damainya AS dan Cina membuat PDB (Produk Domestik Bruto) sedunia melambat," kata Febrio.
Di sisi lain, daya saing sektor manufaktur Indonesia belum bergeliat. "Inilah yang membuat pertumbuhan kita berkutat di kisaran lima persen," ujarnya. Maka, lanjut dia, sektor manufaktur harus diperbaiki lewat perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) serta menciptakan iklim usaha.
Febrio menyarankan, dalam jangka pendek, pemerintah jangan terlalu blunder, apalagi sampai membatasi impor. "Perlu diingat 91 persen impor Indonesia merupakan barang modal, kalau impor dihambat malah tidak akan menolong ekspor sekaligus memperburuk manufaktur," jelas dia.
Lebih lanjut, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 5 sampai 5,1 persen sampai akhir tahun. Angka tersebut tidak berbeda jauh dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sebesar 5,17 persen.