INDRAMAYU, AYOBANDUNG.COM – Seorang guru honorer di Indramayu, Rohendi, terpaksa menyambi sebagai buruh pemetik cabai karena honornya tak kunjung turun.
Sudah sekira 15 tahun Rohendi mengabdi sebagai guru di SDN Jatimunggul 1, Desa Jatimunggul, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Sebuah sekolah yang kekurangan mebeler hingga memaksa siswanya belajar melantai.
Status tenaga pengajar Rohendi sejak mengajar pertama kali pada 2004 hingga kini masih sebagai guru honorer. Pendapatan yang tak seberapa hingga harus berhadapan dengan keterbatasan sekolah tempatnya mengajar, tak pernah menyurutkan langkah pria itu.
SDN Jatimunggul 1 sendiri tergolong berada di pelosok desa dengan akses yang tak mudah. Para siswa yang belajar di sana rata-rata datang dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah.
"Dulu saya sekolah di sini (SDM Jatimunggul 1) karena saya asli dari desa ini," ungkapnya.
Tak heran, dengan segala keterbatasannya, Rohendi tetap mencintai sekolah itu. SDN Jatimunggul 1 pun menjadi sekolah pertama tempat dia mengajar sebagai guru.
AYO BACA : Tak Miliki BPJS, Guru Honorer di Garut Obati Strok dari Donasi Seadanya
Pengabdian Rohendi terhadap profesinya sesungguhnya tak sebanding dengan honor yang dia terima setiap bulan. Selama ini, dirinya harus puas dengan honor Rp300.000 - Rp400.000 per bulan.
Bagi sebagian besar orang, jumlah itu kuranglah ideal. Terlebih, saat ini honor Rohendi tersendat tanpa sebabnya.
"Honor belum cair sejak Agustus sampai sekarang. Saya tidak tahu sebabnya," tutur Rohendi.
Di sekolah tersebut, Rohendi mengajar lebih dari satu kelas. Dia mengajar siswa kelas satu dan dua karena kurangnya jumlah guru.
"Biasanya saya mengajar dulu di kelas satu, lalu memberikan latihan soal. Setelah itu baru saya mengajar ke kelas dua, memberi materi dan tugas, kemudian kembali lagi ke kelas satu, begitu seterusnya," tuturnya.
Sekalipun tak menampik kelelahan yang melandanya akibat harus bolak-balik kelas, Rohendi mengatakan tak punya pilihan lain.
AYO BACA : Nasib Guru Honor di Cimahi, Ngajar Nyambi Ngojek
Menurutnya, sebelum ini, kelas dua pernah diajar guru honorer lain. Hanya, dengan alasan honor minim pun lambat dibayarkan, yang bersangkutan memilih hengkang.
Selain mengajar untuk dua kelas, Rohendi rupanya menjaga sekolah tersebut juga. Dialah yang pertama datang ke sekolah untuk membuka pintu seluruh ruang kelas setiap pagi.
Dia pulalah yang membersihkan sekolah dibantu sejumlah siswa yang datang. Namun, perannya sebagai penjaga sekolah tak praktis membuatnya beroleh upah tambahan.
Demi menghidupi istri dan dua anaknya, selain menjadi guru, Rohendi menjadi pemetik cabai dengan upah Rp20.000-Rp30.000 per hari. Pekerjaan sampingan itu dilakoninya selepas mengajar.
Hanya, permintaan memetik cabai tidaklah setiap hari. Rohendi akan mencari pekerjaan sampingan lain bila tiada petani cabai yang membutuhkan tenaganya.
Dengan kata lain, di luar sekolahnya, Rohendi menjadi pekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu.
Selain mengajar dan menjadi buruh pemetik cabai, Rohendi juga membuka usaha penyewaan hot spot WiFi di rumahnya. Setiap orang yang membutuhkan WiFi dikenai biaya Rp2.000/hari.
"Lumayan membantu menutupi kekurangan (dari honornya sebagai guru)," ujarnya.
Dengan seluruh situasi itu, Rohendi mengaku hanya bisa bersabar. Dia memilih meyakini pintu rezeki lain akan terbuka untuknya kelak.
AYO BACA : Seorang Guru Honorer Gugat Tjahjo Kumolo Rp5 Miliar