REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Ketergantungan berlebihan pada kebijakan moneter memerlukan biaya yang signifikan. Hal itu disampaikan laporan Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia (WESP) 2020 PBB, yang diluncurkan Kamis (16/1) di Markas PBB di New York.
"Ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan moneter bukan saja hanya tidak cukup untuk menghidupkan kembali pertumbuhan, tetapi juga memerlukan biaya yang signifikan, termasuk memperburuk risiko stabilitas keuangan," kata laporan itu.
Menurut laporan tersebut, diperlukan bauran kebijakan yang lebih seimbang, yang merangsang pertumbuhan ekonomi sambil bergerak menuju inklusi sosial yang lebih besar, kesetaraan gender, dan produksi yang ramah lingkungan.
"Di tengah meningkatnya ketidakpuasan atas kurangnya pertumbuhan yang inklusif, seruan untuk perubahan tersebar luas di seluruh dunia. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan pada implikasi distribusi dan lingkungan dari langkah-langkah kebijakan," kata Kepala Ekonom PBB dan Asisten Sekretaris Jenderal untuk Pembangunan Ekonomi Elliott Harris dalam konferensi pers.
Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia adalah publikasi unggulan PBB tahunan tentang keadaan ekonomi dunia, dilihat melalui lensa Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Ini adalah produk gabungan dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan dan lima komisi regional PBB.