REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembanguan rumah bersubsidi dengan skema Fasilitasi Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) tahun ini diperkirakan hanya mencapai 97 ribu unit dari kebutuhan ideal sebanyak 260 ribu unit. Minimnya alokasi pembangunan akibat ketersediaan anggaran pemerintah yang minim.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama para asosiasi pengembang properti menawarkan beberapa alternatif untuk pemerintah agar dapat menambah anggaran rumah bersubsidi. Salah satunya, dengan mengalihkan subsidi elpiji 3 kilogram (melon) yang tidak tepat sasaran ke anggaran FLPP.
"Potensi sumber pendanaan bisa dari realokasi sebagian subsidi elpiji melon yang tidak tepat sasaran," kata Plt Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti, Setyo Maharso dalam Konferensi Pers di Jakarta, Kamis (23/1).
Sebagaimana diketahui, pemerintah bersama Komisi VII DPR tengah mengevaluasi penyaluran elpiji melon yang harganya disubsidi oleh anggaran negara. Pemerintah berencana untuk menerapkan skema penyaluran terutup sehingga hanya masyarakat kurang mampu yang berhak mendapatkan elpiji melon dengan harga subsidi.
Sementara, masyarakat yang dianggap mampu tetap dapat membeli elpiji melon namun dengan harga nonsubsidi. Kebijakan itu tengah dimatangkan, di mana pemerintah fokus pada pendataan jumlah masyarakat yang berhak menerima subsidi.
"Kalau subsidinya tidak tepat sasaran, alangkah baiknya digeser untuk subsidi perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah," katanya.
Di sisi lain, Setyo menuturkan bahwa jika subsidi untuk rumah bersubsidi ditambah, tentu akan meningkatkan penjualan dan berdampak positif bagi industri. Setyo mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 174 industri yang terlibat langsung dalam pembangunan properti.
Selain pengalihan subsidi elpiji melon yang tidak tepat sasaran, Setyo menilai bahwa kekurangan anggaran bisa dipenuhi dari dana yang terhimpun di BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaya menuturkan, sekitar 70 persen penghuni rumah bersubsidi dari FLPP merupakan peserta BPJS Ketenagakerjaan. Karenanya demi keadilan terpenuhinya akses pekerja anggota BPJS Ketenagakerjaan terhadap rumah bersubsidi, perlu ada dukungan dana porsi APBN dari BPJS Ketenagakerjaan.
Hanya saja, Endang menyebut hal itu terhalang oleh adanya aturan yang mengatur tingkat imbal hasil bunga dana BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu membuat dana yang terhimpun tsangat sulit untuk digunakan.
"Regulasinya harus dipertimbangkan ulang," kata Endang.
Adapun selain subsidi elpiji melon dan dana BPJS Ketenagakerjaan, masih terdapat dua solusi lain. Yakni pengalihan dana bantuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) dan subsidi bantuang uang muka (SBUM) untuk Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2020. Pengalihan itu akan menambah bantuan setara untuk pembangunan 128 ribu unit rumah.
Terakhir, yakni penggunaan dana pemerintah pusat yang mengendap di kas daerah. Diketahui, dana yang mengendap itu mencapai Rp 186 triliun. Jika 10 persen saja digunakan untuk menambah kebutuhan FLPP, setidaknya sudah diperoleh Rp 18,6 triliun.
Sebagaimana diketahui, ini alokasi pembangunan rumah bersubsidi dengan skema FLPP dari pemerintah sebanyak 102 ribu unit rumah dengan besaran anggaran subsidi Rp 11 triliun.
Namun, anggaran tersebut diperkirakan hanya cukup untuk membangun 97,7 ribu unit rumah lantaran sebanyak Rp 2 triliun di antaranya telah dipakai untuk menutupi kekurangan FLPP tahun 2019 sehingga tersisa Rp 9 triliun.
Menurut Real Estate Indonesia, sebanyak 260 ribu unit dengan kebutuhan anggaran Rp 29 triliun. Ia menegaskan bahwa penyediaan rumah bersubsidi akan sangat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah yang membutuhkan hunian layak. Dengan kata lain, kekurangan dana FLPP tahun ini sekitar Rp 20 triliun.